Universitas Pakuan

http://www.unpak.ac.id/

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Citorek Sebuah Jurnal

Tanggal 16 Oktober 2013 lalu, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia mengunjungi Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek, Banten. Ini perjalanan pertama bagi saya mengunjungi kampung adat. Sebanyak 25 orang ikut dalam kegiatan ini.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 18 November 2013

DOKTER

DOKTER 
Oleh : Ella Nurhayati

Rintik-rintik terdengar syahdu langit yang bersedih. Bersamaan dengan air mataku menitik. Kubiarkan titik-titik itu jatuh membasahi pipi. Jam dinding di ruang depan berdentang menandakan tepat pukul tiga pagi. Aku bangkit dari sujudku. Seusai melaksanakan pengaduanku kepada Sang Pemilik Hati, lalu kubiarkan ketenangan dan kedamaian meresap kedalam kalbu. Aku hanya berani mengandalkan sisa-sisa harapan yang mungkin ada di dalam diriku. Sebab air mata penyesalan itu  sepertinya sudah kering di sumur hati ini. Penyesalan yang teramat sakit bila semuanya ku ingat. Bagaimana tidak, perjuanganku selama tiga tahun di SMA gugur oleh UN yang hanya tiga hari. Aku masih sulit untuk merelakan kenyataan ini, karena hampir setiap semester aku mendapatkan predikat Juara Umum. Tapi perlahan aku harus ikhlas, Allah pasti punya rencana lain untukku. Kesuksesan dan kebahagiaanku bukan hanya di kelulusan UN saja. Aku harus menanamkan dalam diri ini bahwa Allah sudah menulis skenaro yang lebih indah untukku. Ya Allah.. pasti ibu kecewa melihat aku gagal. Maafkan aku bu, aku tidak bisa membuatmu bahagia. Aku selalu berdoa untukmu dan berusaha agar ibu di dekat Allah tenang. Aku tidak akan menangis. Karena aku tahu ibu tidak suka melihat titikan air mataku.
Semenjak ibu tidak ada, aku tinggal bersama ayah yang sudah menikah lagi dengan wanita pilihannya. Aku sering tidak nyaman dengan keberadaan ibu baruku itu. Aku tahu mereka kecewa melihat anaknya tidak lulus UN. Namun yang membuat aku tidak suka mereka sering mengecapku bodoh, tidak tahu di untung atau apalah. Peristiwa ketidaklulusan ini membuat semuanya berubah. Aku tidak tinggal diam, akan aku buktikan bahwa aku tidak sebodoh yang mereka kira. Masih ada kesempatan yang bisa merubah keadaanku. Ujuan her akan segera di laksanakan, jika memang ujian her itu gagal juga, terpakasa aku harus meraih ijazah paket C.
Satu hal yang membuat aku menyesal adalah, seharusnya aku sudah mengikuti tes seleksi beasiswa full kuliah kedokteran di Jogja tahap kedua, tapi karena aku menerima surat tidak lulus, maka aku  harus ikut ujian her dan tidak mengikuti tes tahap kedua itu. Raib semua impian untuk bisa kuliah kedokteran dan bisa menjadi seorang dokter. Jangankan memikirkan bisa kuliah di Fakultas Kedokteran itu, memikirkan kelulusan pada ujian her saja aku sudah cemas.
Alhamdulillah. Akhirnya aku mampu menyelesaikan semua soal-soal ujian her tanpa kesultan apapun. Setelah semuanya kuserahkan pada-Nya. Aku sudah berusaha dan aku memohon pada-Nya. Hasilnya pun memuaskan, aku lulus dengan menempuh ujian her. Ada hal luar biasa lain yang aku dapatkan dari ketidaklulusan ini. Mungkin benar bahwa aku memang tidak lulus UN dan menempuh kelulusanku dengan ujan her, tapi aku yakin ujian dari-Nya aku sudah lulus. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil atas ketidaklulusanku di UN.
****
Sekarang waktunya untuk berpikir keras bagaimana merajut kembali impian yang sempat pupus. Di tengah hiruk pikuknya pikiranku yang melayang-layang, aku dikejutkan oleh kabar yang membuat mataku terbuka lebar. Cerpenku lolos dalam sayembara pelajar Indonesia tingkat Nasional. Subhanallah.. Aku baru ingat, sebulan yang lalu aku pernah mengirimkan salah satu cerpenku ke event sayembara itu, dan hasilnya aku mendapatkan predikat Juara II dan nominasi Juara favorite pembaca. Hadiahnya adalah uang tunai 7 Jt dan beasiswa sekolah menulis di Jakarta. Sungguh bangganya diriku, di tengah kegagalanku ternyata masih ada seberkas cahaya yang bisa memotivasiku untuk lebih giat lagi merangkai mimpi ke depan.
Ibu tiri dan ayahku tidak merespon keberhasilaku ini, mereka hanya mengernyitkan dahinya dan terkadang terlontar kata-kata yang tidak enak didengar. Tapi aku sudah tidak memperdulikan itu.
“Sukur deh bisa juara cerpen. Tekunin ajah itu cerpen sampai kamu jadi pengarang hebat. Paling-paling tak jadi penulis hebatpun kau jadi penghayal ulung. Mengayal di tulisanmu. Yang ada jadi gila!” kata ibu tiriku melontarkan cemoohannya.
“Terima kasih bu, doakan saja aku. Aku akan menekuni dunia menulis” jawabku menahan perih sambil pergi meninggalkan ibu yang saat itu sedang merapihkan koran di ruang tamu.
Hadiah uang itu aku pergunakan untuk daftar kuliah, walaupun swasta tapi aku menyimpan harapan yang sangat besar. Karena universitas ini potensinya akan sangat mendukung sekali untuk kemajuan hobi menulisku. Disana banyak komunitas-komunitas menulis. Dan atmosfer menulisnya sangat tinggi, aku yakin disinilah keberhasilan akan kuraih. Walau tak banyak yang mendukungku. Tapi aku bersyukur ada Dina yang senantiasa menemani aku.
“Akhirnya kamu masuk universitas ini juga, ada hikmahya ya kamu ujian her. Jadi sahabatku yang kutu buku ini bisa satu kampus denganku” sahut Dina kepadaku.
“Tapi impianku jadi dokter hancur Din”
“Dokter bukan berarti hanya dokter yang bisa menyembuhkan orang sakit yang berpenyakitan atau menolong nyawa manusia saja Mit, menurutku kamu sudah menjadi dokter yang sejati. Mampu mengobati hatiku yang sedang galau, mampu memberikan obat penawar semacam bantuan-bantuan pemikiran kamu Mit. Aku yakin seorang Miftahul Jannah bisa lebih sukses dari sekedar seorang dokter biasa” jelas Dina menyemangatiku.
“Ahh, lebay kamu Din. Tapi memang itu tujuan aku menekuni dunia menulis, karena selain aku ingin menjadi dokter medis juga menjadi dokter kehidupan. Orang lain senang membaca karyaku dan mereka terinspirasi dari tulisanku itu saja aku sudah bahagia. Sebuah kesenangan tersendiri meliputi hati seorang penulis”
Ternyata benar, tidak harus menunggu kuliah kedokteran yang jelas-jelas sudah tidak bisa kuraih, dengan giat berlatih menulis saja aku sudah cukup menjadi dokter. Belakangan ini banyak naskahku yang lolos pada event-event menulis, sehingga namaku sudah cukup baik di dunia menuis. Bahkan untuk membayar semesterpun aku tidak harus bersusah payah mengemis kepada ayahku yang sudah jelas ibu tiriku tidak suka denganku. Sudah ada rubrik tetap di salah satu surat kabar di Bogor yang memberikan honor yang cukup untuk membayar uang semesterku itu.
****
“Jika waktu itu kamu lulus tanpa harus her, mungkin sekarang kamu sudah kuliah di Jogja Mit. Punya otak tuh di asah biar cerdas” makian ibu tiriku hampir saja menjatuhkan air mataku.
“Memang apa bedanya, toh jika Mita jadi kuliah kedokteran di Jogja pun ibu tak akan memberiku biaya kuliah” kataku memberanikan diri untuk menjawab.
“Mita, sudah ibu katakan, jika otakmu pintar kamu bisa meraih beasiswa penuh itu, Kamu sih bisanya baca novel nggak jelas saja” bentak ibu.
“Sudahlah bu, semuanya sudah Allah atur. Ibu tidak percaya dengan takdir-Nya? Sekarang Mita sudah kuliah, sama saja kan bu?”
“Ahh.. kamu ini bisanya melawan orang tua. Jangan mengajari ibu. Ibu sudah cukup tahu dibanding kamu”
Aku tidak tahan dengan perkataan ibu yang seolah menurunkan semangatku untuk maju. Aku tak menggubris perkataan itu lagi. Entah kalimat apa yang ibu tiriku lontarkan saat aku berlari, yang pasti beliau masih saja dengan nada tingginya memarahiku. Aku langsung berlari keluar dan mencari tempat yang bisa meredakan kekecewaan hati ini. Andai saja ibu masih ada, mungkin aku tidak akan berhadapan dengan ibu tiriku ini. Ahh, aku ini bicara apa, semuanya sudah di atur, peristiwa yang sudah terlewati tidak bisa di kembalikan hanya untuk direnungi dan dipelajari.

Aku jadi teringat kata-kata Dina saat di kampus lalu. Dokter bukan berarti hanya dokter yang bisa menyembuhkan orang sakit yang berpenyakitan atau menolong nyawa manusia saja Mit, menurutku kamu sudah menjadi dokter yang sejati. Mampu mengobati hatiku yang sedang galau, mampu memberikan obat penawar semacam bantuan-bantuan pemikiran kamu Mit. Aku yakin seorang Miftahul Jannah bisa lebih sukses dari sekedar seorang dokter biasa. Yah, benar kata Dina temanku itu. Aku akan menjadi dokter, walau bukan dokter medis. Aku akan terus pada jalur menulis, menulis untuk orang lain yang membutuhkan nutrisi rohani dari karya-karya tulisanku itu. Menulis untuk mencerahkan orang lain, terutama mencerahkan hatiku yang sering mendapatkan tekanan dari keluargaku. Menulis adalah obat sekaligus penawar. Mengobati berbagai penyakit, kebodohan, kecongkakan dan penyakit lainnya. Penawar berbagai penyakit kealpaan, keteledoran dan juga kemalasan. Aku akan tetap jadi dokter lewat tulisanku.

Persawahan pun Punya Cerita

oleh Andreas dan Jatmiko

Bagi kami, Citorek begitu unik. Lihatlah sawah yang menghampar luas di desa itu. Banyak yang bisa diceritakan dari persawahan Citorek. Itulah mata pencaharian mereka: bertani. Katanya, jika seorang laki-laki hendak menikah, istrinya harus bisa menanam padi. Anda tidak akan bisa melihat kegiatan bertani di sini saat hari Jumat dan Minggu. Karena semua masyarakat di sini Islam, Jumat adalah waktunya untuk beribadah (shalat Jumat). Sementara, hari Minggu merupakan libur nasional. Mereka menghormati pemerintah dengan meliburkan diri di hari tersebut.
Untuk hal yang satu ini, mereka masih memegang teguh amanat dari leluhur. Kata leluhur, cukuplah panen sekali dalam setahun. Jika lebih, padinya tidak akan tumbuh sempurna. Benar saja, suatu kali mereka pernah panen dua kali dalam setahun. Namun, panen mereka selalu gagal karena padinya tidak tumbuh sempurna.
Sesudah panen, ada perayaan yang dinamakan Seren Taun sebagai wujud dari rasa syukur mereka kepada Yang Maha Kuasa karena telah memberi nikmat yang berlimpah. Saat seren taun jugalah, masyarakat menggelar berbagai acara lainnya seperti yang tertulis di bawah ini.
1.      Nganjang/babawaan
Nganjang merupakan satu hari sebelum perayaan Seren Taun, yang harus membawa sisa hasil bumi kepada kasepuhan yang disebut ngajiwa, dengan diiringi goong gede. Hasil bumi yang dimaksud padi, pisang, ternak dan lain-lain.
2.      Hiburan/raramean
Hiburan dilakukan pada malam hari sebelum perayaan Seren Taun, seperti hiburan topeng, koromong, angklung, dan lain-lain.
3.      Memotong kerbau
Kerbau dibeli dari iuran masyarakat. Pemotongan kerbau dilakukan oleh sesepuh pada pagi hari. Setelah itu, daging kerbau yang disebut jiwaan dibagikan kepada seluruh masyarakat Citorek. Semua masyarakat harus kebagian meskipun sedikit.
4.      Ziarah/ngembangan
Ziarah ke tanah leluhur.
5.      Rasul serah taun/syukuran
Syukuran dilakukan di tempat para kasepuhan. Di sini para kasepuhan berkumpul sambil makan bersama dan musyawarah.
6.      Hajatan/sunatan
Sunatan dilakukan saat Seren Taun setelah syukuran dilakukan.
7.      Kariyaan
Ini merupakan penutupan dari Seren Taun. Penutupan ditandai dengan menabuh goong gede. Dengan begitu, mereka kembali ke rutinitas masing-masing.


Cibedug

Berkunjung ke Desa Sebelah
oleh Tria Ayu Lestari

Hari pertama di Citorek, kami hanya bisa bertemu dengan kasepuhan dengan waktu yang terbilang cukup singkat. Perbincangan kami dengan kasepuhan tidak bisa mendalam karena itu hanya sebatas pertanyaan pembuka. Bisa dibilang, kami datang di waktu yang kurang tepat.
Keesokan harinya, kami berkunjung ke desa sebelah, yaitu Cibedug yang termasuk ke dalam bagian Citorek Barat. Kami menghabiskan waktu tiga setengah jam perjalanan dengan berjalan kaki. Bisa dibilang, perjalanan ini sungguh berat. Maklum, kami harus naik-turun bukit. Ditambah, jalanan yang berbatu. Lelah? Sudah pasti. Namun, mendaki bersama teman-teman membuat perjalanan ini begitu berarti. Sesekali kami berbagi minum, berbincang ringan saat istirahat di sela-sela perjalanan. Dan, saling menyemangati satu sama lain ketika lelah mulai datang. Ah, perjalanan yang bermakna!
            Sekitar pukul 12.00 siang, akhirnya kami sampai di Cibedug. Setelah rebahan sebentar, kami makan bersama. Kebetulan kami membawa bekal. Menu kami pun semua sama; nasi, telur dadar, dan tempe goreng. Memang, itu menu sederhana. Namun, melahapnya di tengah kebersamaan membuat saya begitu menikmatinya.

Peninggalan Bersejarah
oleh Ramadani dan Yohanes

Usai istirahat makan dan shalat, beberapa perwakilan dari mahasiswa Sastra Indonesia berbincang dengan kasepuhan di dalam rumah. Kurang lebih, kebiasaan mereka dengan Citorek sama, seperti panen satu tahun sekali dan memakai ikat kain batik di kepala. Yang terlihat berbeda adalah rumah mereka: masih berbentuk panggung, dan Cibedug mempunyai peninggalan bersejarah. Namun sayang, tidak ada yang bisa menceritakan lebih detail mengenai peninggalan bersejarah yang ada di sana.

Batu Tulis: Belum ada yang bisa mengungkapkan arti dari tulisan tersebut.
(Foto: dokumentasi pribadi)

Batu Kursi
(Foto: dokumentasi pribadi)

Sumur Keramat: Tidak ada air di dalamnya
(Foto: dokumentasi pribadi)

Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Unpak
(Foto:dokumentasi pribadi)

Batu Sajadah
(Foto:dokumentasi pribadi)

Batu Sembilan Lapis
(Foto:dokumentasi pribadi)

Kami hanya dipandu oleh Wahyu, senior kami, pemuda asal Citorek. Tidak banyak yang bisa ia ceritakan. Selesai mengambil gambar, kami berpamitan dengan kasepuhan. Benar, perjalanan kami belum berakhir. Kami harus kembali ke rumah Wahyu. Berjalan lagi dengan rute yang sama. Capek mulai begitu terasa, rasanya tak ingin lagi berjalan. Andai ada pintu ke mana saja. Ah! Khayalan yang tak mungkin terwujud. Namun, tak ada pilihan lain. Langkah demi langkah kami lakukan sambil bermandikan keringat. Ditambah, matahari yang begitu terik.

MERDEKA DENGAN PENA

MERDEKA DENGAN PENA
oleh : Ella Nurhayati

Menulis adalah nyawa pena dalam setiap tetesan tinta dan untaian kata. Sanggup merangkai air mata dalam setiap pinta doa pada-Nya. Menulis adalah salah satu cara untuk meng-aktualisasikan diri, mempertajam pikiran dan mengasah nurani.
Awalnya bermimpi menjadi seorang penulis adalah hal yang mustahil bagi saya. Karena saya berfikir penulis itu wajib berpendidikan dalam bidang sastra dan tergabung group-group menulis yang hebat juga mahal. Ternyata itu hanya ketakutan belaka, buktinya saya hanya banyak membaca dan belajar otodidak di internet yang harus menyisihkan uang jajan terlebih dahulu untuk biaya warnetnya bisa meneteskan karya yang bagus, walaupun bagus menurut saya dan semoga bagus menurut orang lain. Sejak duduk di bangku sekolah dasar saya sudah senang menulis, walaupun hanya menulis diary kecil. Namun itu semua menjadi awal saya bisa menulis jenis tulisan yang lain. Yang jelas lewat tulisan saya bisa ungkapkan hati saya. Jeritan, tangisan, keputusasaan, khawatir, cemas, takut, senang, bahagia, dan berbagai keadaan hati saya, bebas diungkapkan dalam goresan pena yang akan menjadi saksi bisu dalam sebuah istana jiwa. Dalam kesunyian tulisan akan menjadi obat penawarnya. Kejujuran ini dapat menjadi doa yang menguatkan dan menyegarkan pikiran. Bila di dalam diri kita selalu ada keinginan untuk berbagi melalui tulisan. Kebosanan dan kepenatan jiwa yang menyelimuti akan mencair oleh semangat untuk berbagi tulisan kepada orang lain. Rasa bosan akan membeku. Berganti jemari yang menari-nari dan gairah hati yang bergelora. Kedamaian hati mengiringi. Itulah menulis, media ungkapan hati yang efektif. Menulis itu membebaskan kita untuk mengeluarkan apa yang terekam di pikiran menjadi terjemahan ke dalam tulisan. Ketika saya merenung dan mencoba menuangkannya ke sebuah media baik itu kertas maupun di Internet. Dengan menulis saya mencoba mengubah kebiasaan yang sering omong kosong menjadi sesuatu yang lebih terarah dan indah. Saat mulut tak bisa lagi berbicara dan ketika hati tak lagi keluarkan irama, maka hanya goresan pena yang bisa saya lakukan. Ketika lidah kelu tak dapat lagi berkata-kata dan ketika bibir kaku tak lagi mau keluarkan suara, hanya dengan tulisan saya merasa bisa tuangkannya menjadi kata-kata.
Satu hal yang hingga kini saya masih bergelut di dunia tulis menulis walaupun belum sehebat mbak Asma Nadia dan mbak Helvy Tiana Rosa adalah saya bisa merdeka dengan pena. Merdeka menuliskan semua ungkapan jiwa saya, merdeka menyampaikan pesan dan amanat yang positif lewat tulisan.

Renungkanlah, begitu banyak yang dapat kita hasilkan dengan menulis. Bukan hanya sekedar fiksi, dan tidak hanya bercerita tentang dongeng sebelu tidur anak-anak. Tapi coba lihatlah problematika di hadapan kita menanti jawaban, jawaban-jawaban yang menyegarkan. Luar biasa bukan, menjadi seorang penulis?

Mengagumi dalam Diam

Oleh Nurapiska Dwi Ningsih


Tak ada alasan yang jelas, mengapa aku mengagumimu
Entah sampai kapan
Aku terus mengagumimu

Aku tidak pernah berharap rasa kagumku terbalaskan olehmu
Aku hanya berharap rasa kagum ini hilang dan musnah
Agar aku tidak terpuruk karenamu
Hanya satu yang aku ingat
Saat kaumemainkan gitar sambil diiringi nyanyianku


Martabak Terfavorit Bogor



Mendengar kata martabak, biasanya jajanan ini identik dengan gerobak di pinggir jalan. Hingga saat ini, jarang ditemui warung martabak yang juga menyediakan pelayanan untuk makan di tempat. Namun, hal itu tidak berlaku untuk martabak yang satu ini; Martabak Air Mancur Bogor.
Namanya sudah cukup lama dikenal. Tempat jajanan ini menyerupai restoran yang sangat nyaman. Dengan begitu, Anda bisa menyantap martabaknya langsung di sini dan tersedia juga menu-menu lain selain martabak.
Sayangnya, untuk mencicipi seporsi martabak di sini, Anda harus rela mengantre. Pemandangan antrean memang membosankan, tapi di sini cukup terorganisir. Jadi, tak perlu takut disela orang karena pelayanannya cukup adil.
Berbicara soal harga, tak perlu khawatir karena disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas rasa dari martabaknya. Terlebih, Martabak Air Mancur pernah mendapatkan penghargaan dari Bogasari dengan kategori Martabak Terfavorit di Kota Bogor.
Ingin martabak manis atau martabak telur?
Tak perlu ragu, karena rasa keduanya juara. Salah satu menu yang paling banyak dipesan dari martabak telur adalah Martabak Telur Super. Sesuai dengan namanya, martabak ini memiliki ukuran yang super besar, tebal, serta irisan daging yang banyak. Tentunya, menu ini cukup mengobati rasa lapar Anda. Harganya berkisar dari Rp 30 ribu sampai Rp 45 ribu.
Untuk martabak manis, menu yang jadi “perbincangan” adalah martabak jagung. Martabak ini unik dan rasanya pas di lidah. Sementara, martabak manis tersedia dalam dua pilihan bentuk boks; boks besar dan boks kecil. Karenanya, Anda bisa menyesuaikan dengan isi kantong Anda.
Boks besar kisaran harganya Rp 35 ribu sampai Rp 47 ribu. Sementara, boks kecil relatif lebih murah, yaitu Rp 17 ribu sampai Rp 27 ribu. Satu lagi, martabak manis di sini ada yang tipis dan kering atau biasa disebut Martabak Tipker. Jangan salah, walaupun tipis, menu ini termasuk idolanya pengunjung.

Martabak Air Mancur berlokasi di Jalan Jend. Sudirman No. 64 dan Jalan Pajajaran No. 2T, Bogor, buka dari pukul 11.00 sampai pukul 21.00 WIB. Jadi, kapan Anda datang ke sini? (ita/diolah dari berbagai sumber)

Kehilangan

Oleh Nurapiska Dwi Ningsih

Berpisah denganmu
Merenggut sebagian bahagiaku
Kamu mengisi hari-hariku dengan cara yang berbeda; membuatku marah!
Mungkin, itu caramu menarik perhatianku

Pertengkaran yang terjadi di antara kita membuatku sadar
Bahwa kamu sangat berarti
Kini, sejak kita berpisah

Hariku tak lagi bercahaya