Berkunjung ke Desa Sebelah
oleh Tria Ayu Lestari
Hari pertama di
Citorek, kami hanya bisa bertemu dengan kasepuhan dengan waktu yang terbilang
cukup singkat. Perbincangan kami dengan kasepuhan tidak bisa mendalam karena itu hanya
sebatas pertanyaan pembuka. Bisa dibilang, kami datang di waktu yang kurang
tepat.
Keesokan
harinya, kami berkunjung ke desa sebelah, yaitu Cibedug yang termasuk ke dalam
bagian Citorek Barat. Kami menghabiskan waktu tiga setengah jam perjalanan
dengan berjalan kaki. Bisa dibilang, perjalanan ini sungguh berat. Maklum, kami
harus naik-turun bukit. Ditambah, jalanan yang berbatu. Lelah? Sudah pasti.
Namun, mendaki bersama teman-teman membuat perjalanan ini begitu berarti.
Sesekali kami berbagi minum, berbincang ringan saat istirahat di sela-sela
perjalanan. Dan, saling menyemangati satu sama lain ketika lelah mulai datang.
Ah, perjalanan yang bermakna!
Sekitar pukul 12.00 siang, akhirnya
kami sampai di Cibedug. Setelah rebahan sebentar, kami makan bersama. Kebetulan
kami membawa bekal. Menu kami pun semua sama; nasi, telur dadar, dan tempe
goreng. Memang, itu menu sederhana. Namun, melahapnya di tengah kebersamaan
membuat saya begitu menikmatinya.
Peninggalan Bersejarah
oleh Ramadani dan Yohanes
Usai istirahat makan dan shalat, beberapa perwakilan dari mahasiswa Sastra Indonesia berbincang dengan kasepuhan di
dalam rumah. Kurang lebih, kebiasaan mereka dengan Citorek sama, seperti panen satu
tahun sekali dan memakai ikat kain batik di kepala. Yang terlihat berbeda
adalah rumah mereka: masih berbentuk panggung, dan Cibedug mempunyai peninggalan
bersejarah. Namun sayang, tidak ada yang bisa menceritakan lebih detail
mengenai peninggalan bersejarah yang ada di sana.
Batu Tulis: Belum ada yang bisa mengungkapkan arti dari tulisan tersebut.
(Foto: dokumentasi pribadi)
Batu Kursi
(Foto: dokumentasi pribadi)
Sumur Keramat: Tidak ada air di dalamnya
(Foto: dokumentasi pribadi)
Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Unpak
(Foto:dokumentasi pribadi)
Batu Sajadah
(Foto:dokumentasi pribadi)
Batu Sembilan Lapis
(Foto:dokumentasi pribadi)
Kami hanya dipandu oleh Wahyu, senior kami, pemuda asal Citorek. Tidak banyak yang bisa ia ceritakan. Selesai mengambil gambar, kami berpamitan dengan kasepuhan. Benar, perjalanan kami
belum berakhir. Kami harus kembali ke rumah Wahyu. Berjalan lagi
dengan rute yang sama. Capek mulai begitu terasa, rasanya tak ingin lagi
berjalan. Andai ada pintu ke mana saja. Ah! Khayalan yang tak mungkin terwujud.
Namun, tak ada pilihan lain. Langkah demi langkah kami lakukan sambil
bermandikan keringat. Ditambah, matahari yang begitu terik.
kaya'a kk baru dengerr daerahnya,. daerah citorek, dimana tuh de,.
BalasHapusmasih masuk bogor juga bukan de,..??'