Universitas Pakuan

http://www.unpak.ac.id/

Senin, 18 November 2013

Citorek: Sebuah Jurnal

oleh Mita A. Lestari

Tanggal 16 Oktober 2013 lalu, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia mengunjungi Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek, Banten. Ini perjalanan pertama bagi saya mengunjungi kampung adat. Sebanyak 25 orang ikut dalam kegiatan ini. Kami dibagi ke dalam tiga mobil. Di antara 25 orang tersebut, hanya ada satu dosen yang membimbing kami selama perjalanan; Bapak Dedi Yusar. Ada juga beberapa alumni dari Jurusan Sastra Indonesia yang ikut.

Hari Pertama
Butuh waktu lima jam untuk sampai ke Citorek dari Kota Bogor. Citorek berada tepat di kaki Gunung Halimun. Setelah memasuki Provinsi Banten, tak terhitung berapa kali kami melewati jalan rusak, tikungan tajam, jalan menanjak, juga turunan curam. Ditambah, ada jurang yang menganga di tepi jalan. Sungguh, Citorek jauh dari kehidupan kota. Rombongan mobil kami mengundang tanya bagi warga sekitar. Mungkin, itu karena jarangnya kendaraan roda empat yang memasuki wilayah ini.
Sekitar pukul 16.00 WIB, kami sampai di kampung adat. Memasuki perbatasan kampung ini, kami disuguhkan pemandangan sawah yang luas sejauh mata memandang. Saya melihat seorang bapak yang bertelanjang kaki, baju dan celananya hampir penuh dengan lumpur. ”Bapak itu habis dari sawah,” ucap saya dalam hati. Kemudian, barulah kami dapat melihat beberapa rumah di tengah sawah, juga leuit di sekitarnya.
Selama tiga hari dua malam, kami menginap di kediaman Wahyu, salah satu senior saya, yang tinggal di sini. Turun dari mobil, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling: ikat kain batik di kepala dan rumah panggung. Itulah yang menarik perhatian saya. Warga tersenyum ramah menyambut kedatangan kami. Ketika berjalan selepas turun dari mobil menuju rumah Wahyu, ada beberapa warga yang bertanya, ”Ti mana, Teh?”. Dalam bahasa Indonesia berarti ”Dari mana, Teh?”. Ya, warga Kampung Citorek ini berbahasa Sunda. Malah, mereka belum terbiasa dengan bahasa Indonesia.
Setelah shalat Ashar dan mencicipi beberapa hidangan pembuka dari tuan rumah, kami bertemu kasepuhan di babalean. Babalean merupakan tempat pertemuan warga. Setelah pertemuan dibuka oleh sambutan kedua belah pihak, beberapa mahasiswa kami bertanya mengenai Citorek. Sayang, tak banyak yang bisa kami tanyakan lantaran azan Maghrib mulai terdengar.
Saat pertemuan di babalean, rokok dan asbak menyita perhatian saya. Rokok diberikan satu per satu kepada kasepuhan, termasuk dosen kami. Ternyata, ini suguhan yang biasa di sini. Hampir semua pria dewasa di Citorek merokok dan selalu ada rokok dalam setiap pertemuan.

Hari Kedua
Sebelum alarm handphone berbunyi, saya terbangun sekitar pukul 4.00 pagi. Hanya diam, melamun sejenak, sebab saya masih enggan bergerak. Mungkin itu karena lelah saya belum terbayar. Dalam gelap–yang tak sepenuhnya gelap–samar-samar saya mendengar suara napas teman-teman yang cukup teratur. Ada juga dengkuran pelan tepat di sebelah saya, pertanda ia masih dibelai mimpi. Sesekali terdengar kaki yang beradu, seolah-olah saling menyalahkan.
Alarm teman mengagetkan saya. Satu per satu dari kami pun terbangun dan mengantre untuk mandi. Beberapa di antara kami malah menumpang mandi di rumah warga lain. Alasan kami siap-siap sepagi ini adalah jadwal berkunjung ke desa sebelah, yaitu Cibedug.
”Kira-kira waktu perjalanan itu dua atau tiga jam jalan kaki,” kata Kang Wahyu semalam. Dia juga bilang kalau jalannya menanjak dan berbatu. Ah, sudahlah, yang penting saya tidak berjalan sendirian selama itu. Di awal perjalanan, saya bertanya tentang Citorek kepada Kang Wahyu.

Tanya: Kang, katanya, panen di sini Cuma sekali dalam setahun. Kenapa hanya sekali?
Jawab: Karena sudah amanah dari sesepuh. Pernah dua kali panen, tapi gagal terus. Selain itu, supaya tidak terserang hama. Soalnya, di sini tidak seperti di tempat lain yang setahun itu panennya dua atau tiga kali. Di kampung itu selalu terjangkit hama, kalau di sini nggak pernah terjangkit hama.

Tanya: Ada perayaan khusus nggak?
Jawab: Ada, namanya Seren Taun, seperti syukuran. Kalau di tempat lain ada istilah sedekah bumi, tapi kalau di sini syukuran serah tahun atau pesta rakyat. Ada pertunjukan kesenian. Ada goong gede, arak-arakan. Acara intinya nabeuh goong gede, lebih untuk hiburan rakyat.

Tanya: Jadi, mata pencaharian masyarakat di sini hanya bertani?
Jawab: Iya betul, hampir setiap rumah di sini punya lumbung padi. Jadi, kamu nggak bisa nemuin orang yang jual nasi. Kalaupun ada yang butuh nasi, nasinya nggak dijual, tapi dikasih. Yang dijual hanya lauk-pauknya saja. Oh iya, selain bertani, mereka juga bertambang. Makanya di sini sudah banyak rumah modern, motor, juga mobil.

Tanya: Kalau masalah jabatan atau kepemimpinan di sini bagaimana?
Jawab: Di sini itu sistemnya kasepuhan. Kasepuhan itu seperti kerajaan. Jadi, masa jabatannya itu selama hidupnya. Jika akhirnya dia meninggal, jabatan itu akan turun ke keluarganya.

Tanya: Laki-laki di sini pakai ikat kain batik di kepalanya. Apa maksudnya?
Jawab: Ikat itu sebagai simbol orang Citorek. Mereka terikat secara kekeluargaan dan terikat dari norma-norma yang ada di sekitar. Amanah dari leluhurnya, mengikat batinnya dengan titipan leluhurnya.

Tanya: Kalau bertani dan bertambang sebagai mata pencaharian keluarga, bagaimana dengan pendidikan anak-anaknya?
Jawab: Sejak tahun ’90-an ke sini, kebudayaan mereka sudah mulai terbuka (berubah, red). Sebelumnya, mereka tidak diperbolehkan sekolah tinggi-tinggi. Alasannya, membantu orang tua bertani. Tapi sekarang, anak-anak di sini sudah banyak yang kuliah walaupun jauh dari kota.


Semakin lama, jalan semakin menanjak. Karenanya, pembicaraan kami terhenti dengan sendirinya lantaran napas yang mulai tidak teratur. Seingat saya, kami pergi sekitar pukul 7.30. Belum setengah jalan, perjalanan kami harus terhenti karena salah satu rekan kami pingsan dan memakan waktu lama. Alhasil, kami sampai di Desa Cibedug pukul 11.30.

1 komentar:

  1. Juah sebelum tahun 90-an, kami putra-pura Citorek sudah mengenyam pendidikan bahkan hingga perguruan tinggi, baik di Bandung, Jakarta, dan Bogor. termasuk banyak yang mengenyam pendidikan di pesantren-pesantrean terkemuka di pulau Jawa

    BalasHapus