oleh Mita A. Lestari
Tanggal 16 Oktober 2013 lalu, mahasiswa
Jurusan Sastra Indonesia mengunjungi Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek, Banten. Ini
perjalanan pertama bagi saya mengunjungi kampung adat. Sebanyak 25 orang ikut
dalam kegiatan ini. Kami dibagi ke dalam tiga mobil. Di antara 25 orang
tersebut, hanya ada satu dosen yang membimbing kami selama perjalanan; Bapak
Dedi Yusar. Ada juga beberapa alumni dari Jurusan Sastra Indonesia yang ikut.
Hari Pertama
Butuh waktu lima jam untuk sampai ke Citorek
dari Kota Bogor. Citorek berada tepat di kaki Gunung Halimun. Setelah memasuki Provinsi
Banten, tak terhitung berapa kali kami melewati jalan rusak, tikungan tajam,
jalan menanjak, juga turunan curam. Ditambah, ada jurang yang menganga di tepi
jalan. Sungguh, Citorek jauh dari kehidupan kota. Rombongan mobil kami
mengundang tanya bagi warga sekitar. Mungkin, itu karena jarangnya kendaraan
roda empat yang memasuki wilayah ini.
Sekitar pukul 16.00 WIB, kami sampai di
kampung adat. Memasuki perbatasan kampung ini, kami disuguhkan pemandangan
sawah yang luas sejauh mata memandang. Saya melihat seorang bapak yang
bertelanjang kaki, baju dan celananya hampir penuh dengan lumpur. ”Bapak itu
habis dari sawah,” ucap saya dalam hati. Kemudian, barulah kami dapat melihat
beberapa rumah di tengah sawah, juga leuit
di sekitarnya.
Selama tiga hari dua malam, kami
menginap di kediaman Wahyu, salah satu senior saya, yang tinggal di sini. Turun
dari mobil, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling: ikat kain batik di kepala
dan rumah panggung. Itulah yang menarik perhatian saya. Warga tersenyum ramah
menyambut kedatangan kami. Ketika berjalan selepas turun dari mobil menuju
rumah Wahyu, ada beberapa warga yang bertanya, ”Ti mana, Teh?”. Dalam bahasa Indonesia berarti ”Dari mana, Teh?”. Ya,
warga Kampung Citorek ini berbahasa Sunda. Malah, mereka belum terbiasa dengan
bahasa Indonesia.
Setelah shalat Ashar dan mencicipi
beberapa hidangan pembuka dari tuan rumah, kami bertemu kasepuhan di babalean. Babalean merupakan tempat pertemuan warga. Setelah pertemuan dibuka
oleh sambutan kedua belah pihak, beberapa mahasiswa kami bertanya mengenai
Citorek. Sayang, tak banyak yang bisa kami tanyakan lantaran azan Maghrib mulai
terdengar.
Saat pertemuan di babalean, rokok dan asbak menyita perhatian saya. Rokok diberikan
satu per satu kepada kasepuhan, termasuk dosen kami. Ternyata, ini suguhan yang
biasa di sini. Hampir semua pria dewasa di Citorek merokok dan selalu ada rokok
dalam setiap pertemuan.
Hari Kedua
Sebelum alarm handphone berbunyi, saya terbangun sekitar pukul 4.00 pagi. Hanya
diam, melamun sejenak, sebab saya masih enggan bergerak. Mungkin itu karena
lelah saya belum terbayar. Dalam gelap–yang tak sepenuhnya gelap–samar-samar
saya mendengar suara napas teman-teman yang cukup teratur. Ada juga dengkuran
pelan tepat di sebelah saya, pertanda ia masih dibelai mimpi. Sesekali
terdengar kaki yang beradu, seolah-olah saling menyalahkan.
Alarm teman mengagetkan saya. Satu per
satu dari kami pun terbangun dan mengantre untuk mandi. Beberapa di antara kami
malah menumpang mandi di rumah warga lain. Alasan kami siap-siap sepagi ini
adalah jadwal berkunjung ke desa sebelah, yaitu Cibedug.
”Kira-kira waktu perjalanan itu dua atau
tiga jam jalan kaki,” kata Kang Wahyu semalam. Dia juga bilang kalau jalannya
menanjak dan berbatu. Ah, sudahlah, yang penting saya tidak berjalan sendirian
selama itu. Di awal perjalanan, saya bertanya tentang Citorek kepada Kang
Wahyu.
Tanya: Kang, katanya,
panen di sini Cuma sekali dalam setahun. Kenapa hanya sekali?
Jawab: Karena
sudah amanah dari sesepuh. Pernah dua kali panen, tapi gagal terus. Selain itu,
supaya tidak terserang hama. Soalnya, di sini tidak seperti di tempat lain yang
setahun itu panennya dua atau tiga kali. Di kampung itu selalu terjangkit hama,
kalau di sini nggak pernah terjangkit hama.
Tanya: Ada
perayaan khusus nggak?
Jawab: Ada,
namanya Seren Taun, seperti syukuran. Kalau di tempat lain ada istilah sedekah
bumi, tapi kalau di sini syukuran serah tahun atau pesta rakyat. Ada
pertunjukan kesenian. Ada goong gede,
arak-arakan. Acara intinya nabeuh goong
gede, lebih untuk hiburan rakyat.
Tanya: Jadi, mata
pencaharian masyarakat di sini hanya bertani?
Jawab: Iya
betul, hampir setiap rumah di sini punya lumbung padi. Jadi, kamu nggak bisa
nemuin orang yang jual nasi. Kalaupun ada yang butuh nasi, nasinya nggak
dijual, tapi dikasih. Yang dijual hanya lauk-pauknya saja. Oh iya, selain bertani,
mereka juga bertambang. Makanya di sini sudah banyak rumah modern, motor, juga
mobil.
Tanya: Kalau
masalah jabatan atau kepemimpinan di sini bagaimana?
Jawab: Di sini
itu sistemnya kasepuhan. Kasepuhan itu seperti kerajaan. Jadi, masa jabatannya
itu selama hidupnya. Jika akhirnya dia meninggal, jabatan itu akan turun ke
keluarganya.
Tanya: Laki-laki
di sini pakai ikat kain batik di kepalanya. Apa maksudnya?
Jawab: Ikat itu
sebagai simbol orang Citorek. Mereka terikat secara kekeluargaan dan terikat
dari norma-norma yang ada di sekitar. Amanah dari leluhurnya, mengikat batinnya
dengan titipan leluhurnya.
Tanya: Kalau bertani dan bertambang sebagai mata
pencaharian keluarga, bagaimana dengan pendidikan anak-anaknya?
Jawab: Sejak
tahun ’90-an ke sini, kebudayaan mereka sudah mulai terbuka (berubah, red).
Sebelumnya, mereka tidak diperbolehkan sekolah tinggi-tinggi. Alasannya,
membantu orang tua bertani. Tapi sekarang, anak-anak di sini sudah banyak yang
kuliah walaupun jauh dari kota.
Semakin lama, jalan semakin menanjak.
Karenanya, pembicaraan kami terhenti dengan sendirinya lantaran napas yang
mulai tidak teratur. Seingat saya, kami pergi sekitar pukul 7.30. Belum
setengah jalan, perjalanan kami harus terhenti karena salah satu rekan kami
pingsan dan memakan waktu lama. Alhasil, kami sampai di Desa Cibedug pukul
11.30.
Juah sebelum tahun 90-an, kami putra-pura Citorek sudah mengenyam pendidikan bahkan hingga perguruan tinggi, baik di Bandung, Jakarta, dan Bogor. termasuk banyak yang mengenyam pendidikan di pesantren-pesantrean terkemuka di pulau Jawa
BalasHapus