DOKTER
Oleh : Ella Nurhayati
Rintik-rintik
terdengar syahdu langit yang bersedih. Bersamaan dengan air mataku menitik.
Kubiarkan titik-titik itu jatuh membasahi pipi. Jam dinding di ruang depan
berdentang menandakan tepat pukul tiga pagi. Aku bangkit dari sujudku. Seusai melaksanakan
pengaduanku kepada Sang Pemilik Hati, lalu kubiarkan ketenangan dan kedamaian
meresap kedalam kalbu. Aku hanya berani mengandalkan sisa-sisa harapan yang
mungkin ada di dalam diriku. Sebab air mata penyesalan itu sepertinya
sudah kering di sumur hati ini. Penyesalan yang teramat sakit bila semuanya ku
ingat. Bagaimana tidak, perjuanganku selama tiga tahun di SMA gugur oleh UN
yang hanya tiga hari. Aku masih sulit untuk merelakan kenyataan ini, karena
hampir setiap semester aku mendapatkan predikat Juara Umum. Tapi perlahan aku
harus ikhlas, Allah pasti punya rencana lain untukku. Kesuksesan dan
kebahagiaanku bukan hanya di kelulusan UN saja. Aku harus menanamkan dalam diri
ini bahwa Allah sudah menulis skenaro yang lebih indah untukku. Ya Allah.. pasti ibu kecewa melihat aku
gagal. Maafkan aku bu, aku tidak bisa membuatmu bahagia. Aku selalu berdoa untukmu dan berusaha agar ibu
di dekat Allah tenang. Aku tidak akan menangis. Karena aku tahu ibu tidak suka
melihat titikan air mataku.
Semenjak
ibu tidak ada, aku tinggal bersama ayah yang sudah menikah lagi dengan wanita
pilihannya. Aku sering tidak nyaman dengan keberadaan ibu baruku itu. Aku tahu
mereka kecewa melihat anaknya tidak lulus UN. Namun yang membuat aku tidak suka
mereka sering mengecapku bodoh, tidak tahu di untung atau apalah. Peristiwa
ketidaklulusan ini membuat semuanya berubah. Aku tidak tinggal diam, akan aku
buktikan bahwa aku tidak sebodoh yang mereka kira. Masih ada kesempatan yang
bisa merubah keadaanku. Ujuan her akan segera di laksanakan, jika memang ujian
her itu gagal juga, terpakasa aku harus meraih ijazah paket C.
Satu
hal yang membuat aku menyesal adalah, seharusnya aku sudah mengikuti tes
seleksi beasiswa full kuliah kedokteran di Jogja tahap kedua, tapi karena aku
menerima surat tidak lulus, maka aku
harus ikut ujian her dan tidak mengikuti tes tahap kedua itu. Raib semua
impian untuk bisa kuliah kedokteran dan bisa menjadi seorang dokter. Jangankan
memikirkan bisa kuliah di Fakultas Kedokteran itu, memikirkan kelulusan pada
ujian her saja aku sudah cemas.
Alhamdulillah.
Akhirnya aku mampu menyelesaikan semua soal-soal ujian her tanpa kesultan
apapun. Setelah semuanya kuserahkan pada-Nya. Aku sudah berusaha dan aku
memohon pada-Nya. Hasilnya pun memuaskan, aku lulus dengan menempuh ujian her. Ada
hal luar biasa lain yang aku dapatkan dari ketidaklulusan ini. Mungkin benar
bahwa aku memang tidak lulus UN dan menempuh kelulusanku dengan ujan her, tapi
aku yakin ujian dari-Nya aku sudah lulus. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil
atas ketidaklulusanku di UN.
****
Sekarang
waktunya untuk berpikir keras bagaimana merajut kembali impian yang sempat
pupus. Di tengah hiruk pikuknya pikiranku yang melayang-layang, aku dikejutkan
oleh kabar yang membuat mataku terbuka lebar. Cerpenku lolos dalam sayembara pelajar Indonesia tingkat Nasional. Subhanallah.. Aku baru
ingat, sebulan yang lalu aku pernah mengirimkan salah satu cerpenku ke event sayembara itu, dan hasilnya aku
mendapatkan predikat Juara II dan nominasi Juara favorite pembaca. Hadiahnya
adalah uang tunai 7 Jt dan beasiswa sekolah menulis di Jakarta. Sungguh
bangganya diriku, di tengah kegagalanku ternyata masih ada seberkas cahaya yang
bisa memotivasiku untuk lebih giat lagi merangkai mimpi ke depan.
Ibu
tiri dan ayahku tidak merespon keberhasilaku ini, mereka hanya mengernyitkan
dahinya dan terkadang terlontar kata-kata yang tidak enak didengar. Tapi aku
sudah tidak memperdulikan itu.
“Sukur
deh bisa juara cerpen. Tekunin ajah itu cerpen sampai kamu jadi pengarang
hebat. Paling-paling tak jadi penulis hebatpun kau jadi penghayal ulung.
Mengayal di tulisanmu. Yang ada jadi gila!” kata ibu tiriku melontarkan
cemoohannya.
“Terima
kasih bu, doakan saja aku. Aku akan menekuni dunia menulis” jawabku menahan
perih sambil pergi meninggalkan ibu yang saat itu sedang merapihkan koran di
ruang tamu.
Hadiah
uang itu aku pergunakan untuk daftar kuliah, walaupun swasta tapi aku menyimpan
harapan yang sangat besar. Karena universitas ini potensinya akan sangat
mendukung sekali untuk kemajuan hobi menulisku. Disana banyak
komunitas-komunitas menulis. Dan atmosfer menulisnya sangat tinggi, aku yakin
disinilah keberhasilan akan kuraih. Walau tak banyak yang mendukungku. Tapi aku
bersyukur ada Dina yang senantiasa menemani aku.
“Akhirnya
kamu masuk universitas ini juga, ada hikmahya ya kamu ujian her. Jadi sahabatku
yang kutu buku ini bisa satu kampus denganku” sahut Dina kepadaku.
“Tapi
impianku jadi dokter hancur Din”
“Dokter
bukan berarti hanya dokter yang bisa menyembuhkan orang sakit yang berpenyakitan
atau menolong nyawa manusia saja Mit, menurutku kamu sudah menjadi dokter yang
sejati. Mampu mengobati hatiku yang sedang galau, mampu memberikan obat penawar
semacam bantuan-bantuan pemikiran kamu Mit. Aku yakin seorang Miftahul Jannah
bisa lebih sukses dari sekedar seorang dokter biasa” jelas Dina menyemangatiku.
“Ahh,
lebay kamu Din. Tapi memang itu
tujuan aku menekuni dunia menulis, karena selain aku ingin menjadi dokter medis
juga menjadi dokter kehidupan. Orang lain senang membaca karyaku dan mereka
terinspirasi dari tulisanku itu saja aku sudah bahagia. Sebuah kesenangan
tersendiri meliputi hati seorang penulis”
Ternyata
benar, tidak harus menunggu kuliah kedokteran yang jelas-jelas sudah tidak bisa
kuraih, dengan giat berlatih menulis saja aku sudah cukup menjadi dokter.
Belakangan ini banyak naskahku yang lolos pada event-event menulis, sehingga namaku sudah cukup baik di dunia
menuis. Bahkan untuk membayar semesterpun aku tidak harus bersusah payah
mengemis kepada ayahku yang sudah jelas ibu tiriku tidak suka denganku. Sudah
ada rubrik tetap di salah satu surat kabar di Bogor yang memberikan honor yang
cukup untuk membayar uang semesterku itu.
****
“Jika
waktu itu kamu lulus tanpa harus her, mungkin sekarang kamu sudah kuliah di
Jogja Mit. Punya otak tuh di asah biar cerdas” makian ibu tiriku hampir saja
menjatuhkan air mataku.
“Memang
apa bedanya, toh jika Mita jadi kuliah kedokteran di Jogja pun ibu tak akan
memberiku biaya kuliah” kataku memberanikan diri untuk menjawab.
“Mita,
sudah ibu katakan, jika otakmu pintar kamu bisa meraih beasiswa penuh itu, Kamu
sih bisanya baca novel nggak jelas saja” bentak ibu.
“Sudahlah
bu, semuanya sudah Allah atur. Ibu tidak percaya dengan takdir-Nya? Sekarang
Mita sudah kuliah, sama saja kan bu?”
“Ahh..
kamu ini bisanya melawan orang tua. Jangan mengajari ibu. Ibu sudah cukup tahu
dibanding kamu”
Aku
tidak tahan dengan perkataan ibu yang seolah menurunkan semangatku untuk maju.
Aku tak menggubris perkataan itu lagi. Entah kalimat apa yang ibu tiriku
lontarkan saat aku berlari, yang pasti beliau masih saja dengan nada tingginya
memarahiku. Aku langsung berlari keluar dan mencari tempat yang bisa meredakan
kekecewaan hati ini. Andai saja ibu masih
ada, mungkin aku tidak akan berhadapan dengan ibu tiriku ini. Ahh, aku ini
bicara apa, semuanya sudah di atur, peristiwa yang sudah terlewati tidak bisa di
kembalikan hanya untuk direnungi dan dipelajari.
Aku
jadi teringat kata-kata Dina saat di kampus lalu. Dokter bukan berarti hanya dokter yang bisa menyembuhkan orang sakit
yang berpenyakitan atau menolong nyawa manusia saja Mit, menurutku kamu sudah
menjadi dokter yang sejati. Mampu mengobati hatiku yang sedang galau, mampu
memberikan obat penawar semacam bantuan-bantuan pemikiran kamu Mit. Aku yakin
seorang Miftahul Jannah bisa lebih sukses dari sekedar seorang dokter biasa. Yah,
benar kata Dina temanku itu. Aku akan menjadi dokter, walau bukan dokter medis.
Aku akan terus pada jalur menulis, menulis untuk orang lain yang membutuhkan
nutrisi rohani dari karya-karya tulisanku itu. Menulis untuk mencerahkan orang
lain, terutama mencerahkan hatiku yang sering mendapatkan tekanan dari
keluargaku. Menulis adalah obat sekaligus penawar. Mengobati berbagai penyakit,
kebodohan, kecongkakan dan penyakit lainnya. Penawar berbagai penyakit
kealpaan, keteledoran dan juga kemalasan. Aku akan tetap jadi dokter lewat tulisanku.
0 komentar:
Posting Komentar