Universitas Pakuan

http://www.unpak.ac.id/

Senin, 18 November 2013

Sepenggal Cerita dari Citorek

Oleh Arini Puji Lestari


Pintu masuk Kasepuhan Citorek (Foto: net)

            Hari telah menjelang sore, matahari meredup, dan udara mulai terasa dingin. Saya dan teman-teman  berkumpul di sebuah bangunan bernama babalean, yaitu tempat untuk berkumpul atau menerima tamu, mirip dengan rumah panggung. Seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala batik menyuguhkan beberapa hidangan. Kemudian, masuk lagi beberapa orang yang lebih tua, memakai baju putih dan ikat kepala yang sama. Namun, dengan bentuk ikat yang lebih bervariasi.
            Bukan, saya dan teman-teman tidak sedang berada di Baduy. Sebuah daerah yang juga berada di Banten yang mempunyai kesamaan adat dalam  memakai ikat kepala bagi pria. Akan tetapi, saya dan teman-teman sedang berada di Kasepuhan Citorek.



Pertemuan mahasiswa Sastra Indonesia Unpak dengan Kasepuhan di babalean.
(Foto: dokumentasi pribadi)

            Masing-masing perwakilan, baik dari sesepuh Citorek maupun dari mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Pakuan yang diwakilkan oleh Bapak Dedi Yusar selaku Sekretaris Jurusan, memberikan sambutan serta menyampaikan maksud dan tujuan dari kunjungan kami ke sini. Kemudian, barulah sesi tanya-jawab antara mahasiswa dan sesepuh Citorek dimulai.
            Dari tanya-jawab itu diketahui beberapa hal, antara lain asal-usul Citorek. Versi yang pertama pada zaman dahulu, Citorek merupakan hutan yang tidak berpenghuni. Ada dua orang yang datang ke tempat itu, mereka haus dan hendak mengambil air, tetapi tidak menemukan sungai atau sumber mata air lainnya. Tiba-tiba, bambu yang mereka pakai untuk mengambil air jatuh menggelinding. Akibat bambu itu jatuh, ditemukanlah sungai. Dua orang itu lalu mengatakan, ”Masya Allah, sungai itu tidak ada perciknya.”
Versi yang kedua menceritakan bahwa orang Timur dari Mekah datang untuk membuka lahan. Dia tertarik dan bertujuan syiar agama Islam. Awalnya bernama Citorik dari bahasa Arab  thariq  yang berarti jalan, lalu berubah sesuai dengan pengucapan warga setempat menjadi Citorek. Sesepuh juga mengatakan bahwa dulu warga Citorek  hidup secara nomaden dan merupakan pecahan dari Guradog. Tentang tahun berdiri Citorek tidak dapat dipastikan karena dari beberapa orang yang diwawancarai memberikan jawaban yang berbeda.
Seorang sesepuh mengatakan, beberapa hari sebelum saya dan teman-teman berkunjung diadakan upacara Seren Taun yang merupakan wujud syukur masyarakat Sunda atas berkah yang telah Tuhan berikan atas hasil pertanian. Sayang sekali, saya dan teman- teman tidak bisa menyaksikan upacara itu karena bertepatan dengan Idul Adha.
Azan Maghrib pun terdengar. Saya dan teman-teman mohon diri untuk kembali ke penginapan yang tak jauh dari babalean. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada sesepuh Citorek atas keramahan dan jamuannya.
Citorek dapat ditempuh selama 4–6 jam dari pusat Kota Bogor, tergantung dari keadaan lalu lintas dengan menempuh jalur Bogor-Leuwiliang-Jasinga-Cipanas-Citorek. Sepanjang jalan menuju Citorek akan terlihat pemandangan rimbunnya pepohonan serta barisan pegunungan. Tanjakan dan turunan yang tajam, serta jalanan yang rusak menjadi tantangan bagi Anda yang ingin berkunjung. Jalanan yang diaspal baru 2 kilometer dari Warung Banten. Baju hangat dan obat-obatan merupakan hal penting yang harus dibawa. Sebab, cuaca di sini cukup dingin saat sore dan malam hari. Handphone tidak terlalu berguna karena letak Citorek berada di balik pegunungan sehingga sinyal sulit didapat.

0 komentar:

Posting Komentar