Oleh
Arini Puji Lestari
Pintu
masuk Kasepuhan Citorek (Foto: net)
Hari telah menjelang sore, matahari
meredup, dan udara mulai terasa dingin. Saya dan teman-teman berkumpul di sebuah bangunan bernama babalean, yaitu tempat untuk berkumpul
atau menerima tamu, mirip dengan rumah panggung. Seorang pemuda berpakaian dan
berikat kepala batik menyuguhkan beberapa hidangan. Kemudian, masuk lagi
beberapa orang yang lebih tua, memakai baju putih dan ikat kepala yang sama.
Namun, dengan bentuk ikat yang lebih bervariasi.
Bukan, saya dan teman-teman tidak sedang
berada di Baduy. Sebuah daerah yang juga berada di Banten yang mempunyai
kesamaan adat dalam memakai ikat kepala
bagi pria. Akan tetapi, saya dan teman-teman sedang berada di Kasepuhan
Citorek.
Pertemuan mahasiswa Sastra Indonesia Unpak dengan Kasepuhan di babalean.
(Foto: dokumentasi pribadi)
Masing-masing perwakilan, baik dari
sesepuh Citorek maupun dari mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Pakuan yang diwakilkan
oleh Bapak Dedi Yusar selaku Sekretaris Jurusan, memberikan sambutan serta
menyampaikan maksud dan tujuan dari kunjungan kami ke sini. Kemudian, barulah
sesi tanya-jawab antara mahasiswa dan sesepuh Citorek dimulai.
Dari tanya-jawab itu diketahui
beberapa hal, antara lain asal-usul Citorek. Versi yang pertama pada zaman
dahulu, Citorek merupakan hutan yang tidak berpenghuni. Ada dua orang yang
datang ke tempat itu, mereka haus dan hendak mengambil air, tetapi tidak
menemukan sungai atau sumber mata air lainnya. Tiba-tiba, bambu yang mereka
pakai untuk mengambil air jatuh menggelinding. Akibat bambu itu jatuh,
ditemukanlah sungai. Dua orang itu lalu mengatakan, ”Masya Allah, sungai itu tidak ada perciknya.”
Versi yang kedua menceritakan bahwa
orang Timur dari Mekah datang untuk membuka lahan. Dia tertarik dan bertujuan
syiar agama Islam. Awalnya bernama Citorik dari bahasa Arab thariq
yang berarti jalan, lalu berubah sesuai dengan pengucapan warga setempat
menjadi Citorek. Sesepuh juga mengatakan bahwa dulu warga Citorek hidup secara nomaden dan merupakan pecahan
dari Guradog. Tentang tahun berdiri Citorek tidak dapat dipastikan karena dari
beberapa orang yang diwawancarai memberikan jawaban yang berbeda.
Seorang sesepuh mengatakan, beberapa
hari sebelum saya dan teman-teman berkunjung diadakan upacara Seren Taun yang
merupakan wujud syukur masyarakat Sunda atas berkah yang telah Tuhan berikan
atas hasil pertanian. Sayang sekali, saya dan teman- teman tidak bisa
menyaksikan upacara itu karena bertepatan dengan Idul Adha.
Azan Maghrib pun terdengar. Saya dan
teman-teman mohon diri untuk kembali ke penginapan yang tak jauh dari babalean. Tak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada sesepuh Citorek atas keramahan dan jamuannya.
Citorek dapat ditempuh selama 4–6 jam
dari pusat Kota Bogor, tergantung dari keadaan lalu lintas dengan menempuh
jalur Bogor-Leuwiliang-Jasinga-Cipanas-Citorek. Sepanjang jalan menuju Citorek
akan terlihat pemandangan rimbunnya pepohonan serta barisan pegunungan. Tanjakan
dan turunan yang tajam, serta jalanan yang rusak menjadi tantangan bagi Anda
yang ingin berkunjung. Jalanan yang diaspal baru 2 kilometer dari Warung
Banten. Baju hangat dan obat-obatan merupakan hal penting yang harus dibawa.
Sebab, cuaca di sini cukup dingin saat sore dan malam hari. Handphone tidak terlalu berguna karena
letak Citorek berada di balik pegunungan sehingga sinyal sulit didapat.
0 komentar:
Posting Komentar