Universitas Pakuan

http://www.unpak.ac.id/

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Citorek Sebuah Jurnal

Tanggal 16 Oktober 2013 lalu, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia mengunjungi Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek, Banten. Ini perjalanan pertama bagi saya mengunjungi kampung adat. Sebanyak 25 orang ikut dalam kegiatan ini.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 18 November 2013

DOKTER

DOKTER 
Oleh : Ella Nurhayati

Rintik-rintik terdengar syahdu langit yang bersedih. Bersamaan dengan air mataku menitik. Kubiarkan titik-titik itu jatuh membasahi pipi. Jam dinding di ruang depan berdentang menandakan tepat pukul tiga pagi. Aku bangkit dari sujudku. Seusai melaksanakan pengaduanku kepada Sang Pemilik Hati, lalu kubiarkan ketenangan dan kedamaian meresap kedalam kalbu. Aku hanya berani mengandalkan sisa-sisa harapan yang mungkin ada di dalam diriku. Sebab air mata penyesalan itu  sepertinya sudah kering di sumur hati ini. Penyesalan yang teramat sakit bila semuanya ku ingat. Bagaimana tidak, perjuanganku selama tiga tahun di SMA gugur oleh UN yang hanya tiga hari. Aku masih sulit untuk merelakan kenyataan ini, karena hampir setiap semester aku mendapatkan predikat Juara Umum. Tapi perlahan aku harus ikhlas, Allah pasti punya rencana lain untukku. Kesuksesan dan kebahagiaanku bukan hanya di kelulusan UN saja. Aku harus menanamkan dalam diri ini bahwa Allah sudah menulis skenaro yang lebih indah untukku. Ya Allah.. pasti ibu kecewa melihat aku gagal. Maafkan aku bu, aku tidak bisa membuatmu bahagia. Aku selalu berdoa untukmu dan berusaha agar ibu di dekat Allah tenang. Aku tidak akan menangis. Karena aku tahu ibu tidak suka melihat titikan air mataku.
Semenjak ibu tidak ada, aku tinggal bersama ayah yang sudah menikah lagi dengan wanita pilihannya. Aku sering tidak nyaman dengan keberadaan ibu baruku itu. Aku tahu mereka kecewa melihat anaknya tidak lulus UN. Namun yang membuat aku tidak suka mereka sering mengecapku bodoh, tidak tahu di untung atau apalah. Peristiwa ketidaklulusan ini membuat semuanya berubah. Aku tidak tinggal diam, akan aku buktikan bahwa aku tidak sebodoh yang mereka kira. Masih ada kesempatan yang bisa merubah keadaanku. Ujuan her akan segera di laksanakan, jika memang ujian her itu gagal juga, terpakasa aku harus meraih ijazah paket C.
Satu hal yang membuat aku menyesal adalah, seharusnya aku sudah mengikuti tes seleksi beasiswa full kuliah kedokteran di Jogja tahap kedua, tapi karena aku menerima surat tidak lulus, maka aku  harus ikut ujian her dan tidak mengikuti tes tahap kedua itu. Raib semua impian untuk bisa kuliah kedokteran dan bisa menjadi seorang dokter. Jangankan memikirkan bisa kuliah di Fakultas Kedokteran itu, memikirkan kelulusan pada ujian her saja aku sudah cemas.
Alhamdulillah. Akhirnya aku mampu menyelesaikan semua soal-soal ujian her tanpa kesultan apapun. Setelah semuanya kuserahkan pada-Nya. Aku sudah berusaha dan aku memohon pada-Nya. Hasilnya pun memuaskan, aku lulus dengan menempuh ujian her. Ada hal luar biasa lain yang aku dapatkan dari ketidaklulusan ini. Mungkin benar bahwa aku memang tidak lulus UN dan menempuh kelulusanku dengan ujan her, tapi aku yakin ujian dari-Nya aku sudah lulus. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil atas ketidaklulusanku di UN.
****
Sekarang waktunya untuk berpikir keras bagaimana merajut kembali impian yang sempat pupus. Di tengah hiruk pikuknya pikiranku yang melayang-layang, aku dikejutkan oleh kabar yang membuat mataku terbuka lebar. Cerpenku lolos dalam sayembara pelajar Indonesia tingkat Nasional. Subhanallah.. Aku baru ingat, sebulan yang lalu aku pernah mengirimkan salah satu cerpenku ke event sayembara itu, dan hasilnya aku mendapatkan predikat Juara II dan nominasi Juara favorite pembaca. Hadiahnya adalah uang tunai 7 Jt dan beasiswa sekolah menulis di Jakarta. Sungguh bangganya diriku, di tengah kegagalanku ternyata masih ada seberkas cahaya yang bisa memotivasiku untuk lebih giat lagi merangkai mimpi ke depan.
Ibu tiri dan ayahku tidak merespon keberhasilaku ini, mereka hanya mengernyitkan dahinya dan terkadang terlontar kata-kata yang tidak enak didengar. Tapi aku sudah tidak memperdulikan itu.
“Sukur deh bisa juara cerpen. Tekunin ajah itu cerpen sampai kamu jadi pengarang hebat. Paling-paling tak jadi penulis hebatpun kau jadi penghayal ulung. Mengayal di tulisanmu. Yang ada jadi gila!” kata ibu tiriku melontarkan cemoohannya.
“Terima kasih bu, doakan saja aku. Aku akan menekuni dunia menulis” jawabku menahan perih sambil pergi meninggalkan ibu yang saat itu sedang merapihkan koran di ruang tamu.
Hadiah uang itu aku pergunakan untuk daftar kuliah, walaupun swasta tapi aku menyimpan harapan yang sangat besar. Karena universitas ini potensinya akan sangat mendukung sekali untuk kemajuan hobi menulisku. Disana banyak komunitas-komunitas menulis. Dan atmosfer menulisnya sangat tinggi, aku yakin disinilah keberhasilan akan kuraih. Walau tak banyak yang mendukungku. Tapi aku bersyukur ada Dina yang senantiasa menemani aku.
“Akhirnya kamu masuk universitas ini juga, ada hikmahya ya kamu ujian her. Jadi sahabatku yang kutu buku ini bisa satu kampus denganku” sahut Dina kepadaku.
“Tapi impianku jadi dokter hancur Din”
“Dokter bukan berarti hanya dokter yang bisa menyembuhkan orang sakit yang berpenyakitan atau menolong nyawa manusia saja Mit, menurutku kamu sudah menjadi dokter yang sejati. Mampu mengobati hatiku yang sedang galau, mampu memberikan obat penawar semacam bantuan-bantuan pemikiran kamu Mit. Aku yakin seorang Miftahul Jannah bisa lebih sukses dari sekedar seorang dokter biasa” jelas Dina menyemangatiku.
“Ahh, lebay kamu Din. Tapi memang itu tujuan aku menekuni dunia menulis, karena selain aku ingin menjadi dokter medis juga menjadi dokter kehidupan. Orang lain senang membaca karyaku dan mereka terinspirasi dari tulisanku itu saja aku sudah bahagia. Sebuah kesenangan tersendiri meliputi hati seorang penulis”
Ternyata benar, tidak harus menunggu kuliah kedokteran yang jelas-jelas sudah tidak bisa kuraih, dengan giat berlatih menulis saja aku sudah cukup menjadi dokter. Belakangan ini banyak naskahku yang lolos pada event-event menulis, sehingga namaku sudah cukup baik di dunia menuis. Bahkan untuk membayar semesterpun aku tidak harus bersusah payah mengemis kepada ayahku yang sudah jelas ibu tiriku tidak suka denganku. Sudah ada rubrik tetap di salah satu surat kabar di Bogor yang memberikan honor yang cukup untuk membayar uang semesterku itu.
****
“Jika waktu itu kamu lulus tanpa harus her, mungkin sekarang kamu sudah kuliah di Jogja Mit. Punya otak tuh di asah biar cerdas” makian ibu tiriku hampir saja menjatuhkan air mataku.
“Memang apa bedanya, toh jika Mita jadi kuliah kedokteran di Jogja pun ibu tak akan memberiku biaya kuliah” kataku memberanikan diri untuk menjawab.
“Mita, sudah ibu katakan, jika otakmu pintar kamu bisa meraih beasiswa penuh itu, Kamu sih bisanya baca novel nggak jelas saja” bentak ibu.
“Sudahlah bu, semuanya sudah Allah atur. Ibu tidak percaya dengan takdir-Nya? Sekarang Mita sudah kuliah, sama saja kan bu?”
“Ahh.. kamu ini bisanya melawan orang tua. Jangan mengajari ibu. Ibu sudah cukup tahu dibanding kamu”
Aku tidak tahan dengan perkataan ibu yang seolah menurunkan semangatku untuk maju. Aku tak menggubris perkataan itu lagi. Entah kalimat apa yang ibu tiriku lontarkan saat aku berlari, yang pasti beliau masih saja dengan nada tingginya memarahiku. Aku langsung berlari keluar dan mencari tempat yang bisa meredakan kekecewaan hati ini. Andai saja ibu masih ada, mungkin aku tidak akan berhadapan dengan ibu tiriku ini. Ahh, aku ini bicara apa, semuanya sudah di atur, peristiwa yang sudah terlewati tidak bisa di kembalikan hanya untuk direnungi dan dipelajari.

Aku jadi teringat kata-kata Dina saat di kampus lalu. Dokter bukan berarti hanya dokter yang bisa menyembuhkan orang sakit yang berpenyakitan atau menolong nyawa manusia saja Mit, menurutku kamu sudah menjadi dokter yang sejati. Mampu mengobati hatiku yang sedang galau, mampu memberikan obat penawar semacam bantuan-bantuan pemikiran kamu Mit. Aku yakin seorang Miftahul Jannah bisa lebih sukses dari sekedar seorang dokter biasa. Yah, benar kata Dina temanku itu. Aku akan menjadi dokter, walau bukan dokter medis. Aku akan terus pada jalur menulis, menulis untuk orang lain yang membutuhkan nutrisi rohani dari karya-karya tulisanku itu. Menulis untuk mencerahkan orang lain, terutama mencerahkan hatiku yang sering mendapatkan tekanan dari keluargaku. Menulis adalah obat sekaligus penawar. Mengobati berbagai penyakit, kebodohan, kecongkakan dan penyakit lainnya. Penawar berbagai penyakit kealpaan, keteledoran dan juga kemalasan. Aku akan tetap jadi dokter lewat tulisanku.

Persawahan pun Punya Cerita

oleh Andreas dan Jatmiko

Bagi kami, Citorek begitu unik. Lihatlah sawah yang menghampar luas di desa itu. Banyak yang bisa diceritakan dari persawahan Citorek. Itulah mata pencaharian mereka: bertani. Katanya, jika seorang laki-laki hendak menikah, istrinya harus bisa menanam padi. Anda tidak akan bisa melihat kegiatan bertani di sini saat hari Jumat dan Minggu. Karena semua masyarakat di sini Islam, Jumat adalah waktunya untuk beribadah (shalat Jumat). Sementara, hari Minggu merupakan libur nasional. Mereka menghormati pemerintah dengan meliburkan diri di hari tersebut.
Untuk hal yang satu ini, mereka masih memegang teguh amanat dari leluhur. Kata leluhur, cukuplah panen sekali dalam setahun. Jika lebih, padinya tidak akan tumbuh sempurna. Benar saja, suatu kali mereka pernah panen dua kali dalam setahun. Namun, panen mereka selalu gagal karena padinya tidak tumbuh sempurna.
Sesudah panen, ada perayaan yang dinamakan Seren Taun sebagai wujud dari rasa syukur mereka kepada Yang Maha Kuasa karena telah memberi nikmat yang berlimpah. Saat seren taun jugalah, masyarakat menggelar berbagai acara lainnya seperti yang tertulis di bawah ini.
1.      Nganjang/babawaan
Nganjang merupakan satu hari sebelum perayaan Seren Taun, yang harus membawa sisa hasil bumi kepada kasepuhan yang disebut ngajiwa, dengan diiringi goong gede. Hasil bumi yang dimaksud padi, pisang, ternak dan lain-lain.
2.      Hiburan/raramean
Hiburan dilakukan pada malam hari sebelum perayaan Seren Taun, seperti hiburan topeng, koromong, angklung, dan lain-lain.
3.      Memotong kerbau
Kerbau dibeli dari iuran masyarakat. Pemotongan kerbau dilakukan oleh sesepuh pada pagi hari. Setelah itu, daging kerbau yang disebut jiwaan dibagikan kepada seluruh masyarakat Citorek. Semua masyarakat harus kebagian meskipun sedikit.
4.      Ziarah/ngembangan
Ziarah ke tanah leluhur.
5.      Rasul serah taun/syukuran
Syukuran dilakukan di tempat para kasepuhan. Di sini para kasepuhan berkumpul sambil makan bersama dan musyawarah.
6.      Hajatan/sunatan
Sunatan dilakukan saat Seren Taun setelah syukuran dilakukan.
7.      Kariyaan
Ini merupakan penutupan dari Seren Taun. Penutupan ditandai dengan menabuh goong gede. Dengan begitu, mereka kembali ke rutinitas masing-masing.


Cibedug

Berkunjung ke Desa Sebelah
oleh Tria Ayu Lestari

Hari pertama di Citorek, kami hanya bisa bertemu dengan kasepuhan dengan waktu yang terbilang cukup singkat. Perbincangan kami dengan kasepuhan tidak bisa mendalam karena itu hanya sebatas pertanyaan pembuka. Bisa dibilang, kami datang di waktu yang kurang tepat.
Keesokan harinya, kami berkunjung ke desa sebelah, yaitu Cibedug yang termasuk ke dalam bagian Citorek Barat. Kami menghabiskan waktu tiga setengah jam perjalanan dengan berjalan kaki. Bisa dibilang, perjalanan ini sungguh berat. Maklum, kami harus naik-turun bukit. Ditambah, jalanan yang berbatu. Lelah? Sudah pasti. Namun, mendaki bersama teman-teman membuat perjalanan ini begitu berarti. Sesekali kami berbagi minum, berbincang ringan saat istirahat di sela-sela perjalanan. Dan, saling menyemangati satu sama lain ketika lelah mulai datang. Ah, perjalanan yang bermakna!
            Sekitar pukul 12.00 siang, akhirnya kami sampai di Cibedug. Setelah rebahan sebentar, kami makan bersama. Kebetulan kami membawa bekal. Menu kami pun semua sama; nasi, telur dadar, dan tempe goreng. Memang, itu menu sederhana. Namun, melahapnya di tengah kebersamaan membuat saya begitu menikmatinya.

Peninggalan Bersejarah
oleh Ramadani dan Yohanes

Usai istirahat makan dan shalat, beberapa perwakilan dari mahasiswa Sastra Indonesia berbincang dengan kasepuhan di dalam rumah. Kurang lebih, kebiasaan mereka dengan Citorek sama, seperti panen satu tahun sekali dan memakai ikat kain batik di kepala. Yang terlihat berbeda adalah rumah mereka: masih berbentuk panggung, dan Cibedug mempunyai peninggalan bersejarah. Namun sayang, tidak ada yang bisa menceritakan lebih detail mengenai peninggalan bersejarah yang ada di sana.

Batu Tulis: Belum ada yang bisa mengungkapkan arti dari tulisan tersebut.
(Foto: dokumentasi pribadi)

Batu Kursi
(Foto: dokumentasi pribadi)

Sumur Keramat: Tidak ada air di dalamnya
(Foto: dokumentasi pribadi)

Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Unpak
(Foto:dokumentasi pribadi)

Batu Sajadah
(Foto:dokumentasi pribadi)

Batu Sembilan Lapis
(Foto:dokumentasi pribadi)

Kami hanya dipandu oleh Wahyu, senior kami, pemuda asal Citorek. Tidak banyak yang bisa ia ceritakan. Selesai mengambil gambar, kami berpamitan dengan kasepuhan. Benar, perjalanan kami belum berakhir. Kami harus kembali ke rumah Wahyu. Berjalan lagi dengan rute yang sama. Capek mulai begitu terasa, rasanya tak ingin lagi berjalan. Andai ada pintu ke mana saja. Ah! Khayalan yang tak mungkin terwujud. Namun, tak ada pilihan lain. Langkah demi langkah kami lakukan sambil bermandikan keringat. Ditambah, matahari yang begitu terik.

MERDEKA DENGAN PENA

MERDEKA DENGAN PENA
oleh : Ella Nurhayati

Menulis adalah nyawa pena dalam setiap tetesan tinta dan untaian kata. Sanggup merangkai air mata dalam setiap pinta doa pada-Nya. Menulis adalah salah satu cara untuk meng-aktualisasikan diri, mempertajam pikiran dan mengasah nurani.
Awalnya bermimpi menjadi seorang penulis adalah hal yang mustahil bagi saya. Karena saya berfikir penulis itu wajib berpendidikan dalam bidang sastra dan tergabung group-group menulis yang hebat juga mahal. Ternyata itu hanya ketakutan belaka, buktinya saya hanya banyak membaca dan belajar otodidak di internet yang harus menyisihkan uang jajan terlebih dahulu untuk biaya warnetnya bisa meneteskan karya yang bagus, walaupun bagus menurut saya dan semoga bagus menurut orang lain. Sejak duduk di bangku sekolah dasar saya sudah senang menulis, walaupun hanya menulis diary kecil. Namun itu semua menjadi awal saya bisa menulis jenis tulisan yang lain. Yang jelas lewat tulisan saya bisa ungkapkan hati saya. Jeritan, tangisan, keputusasaan, khawatir, cemas, takut, senang, bahagia, dan berbagai keadaan hati saya, bebas diungkapkan dalam goresan pena yang akan menjadi saksi bisu dalam sebuah istana jiwa. Dalam kesunyian tulisan akan menjadi obat penawarnya. Kejujuran ini dapat menjadi doa yang menguatkan dan menyegarkan pikiran. Bila di dalam diri kita selalu ada keinginan untuk berbagi melalui tulisan. Kebosanan dan kepenatan jiwa yang menyelimuti akan mencair oleh semangat untuk berbagi tulisan kepada orang lain. Rasa bosan akan membeku. Berganti jemari yang menari-nari dan gairah hati yang bergelora. Kedamaian hati mengiringi. Itulah menulis, media ungkapan hati yang efektif. Menulis itu membebaskan kita untuk mengeluarkan apa yang terekam di pikiran menjadi terjemahan ke dalam tulisan. Ketika saya merenung dan mencoba menuangkannya ke sebuah media baik itu kertas maupun di Internet. Dengan menulis saya mencoba mengubah kebiasaan yang sering omong kosong menjadi sesuatu yang lebih terarah dan indah. Saat mulut tak bisa lagi berbicara dan ketika hati tak lagi keluarkan irama, maka hanya goresan pena yang bisa saya lakukan. Ketika lidah kelu tak dapat lagi berkata-kata dan ketika bibir kaku tak lagi mau keluarkan suara, hanya dengan tulisan saya merasa bisa tuangkannya menjadi kata-kata.
Satu hal yang hingga kini saya masih bergelut di dunia tulis menulis walaupun belum sehebat mbak Asma Nadia dan mbak Helvy Tiana Rosa adalah saya bisa merdeka dengan pena. Merdeka menuliskan semua ungkapan jiwa saya, merdeka menyampaikan pesan dan amanat yang positif lewat tulisan.

Renungkanlah, begitu banyak yang dapat kita hasilkan dengan menulis. Bukan hanya sekedar fiksi, dan tidak hanya bercerita tentang dongeng sebelu tidur anak-anak. Tapi coba lihatlah problematika di hadapan kita menanti jawaban, jawaban-jawaban yang menyegarkan. Luar biasa bukan, menjadi seorang penulis?

Mengagumi dalam Diam

Oleh Nurapiska Dwi Ningsih


Tak ada alasan yang jelas, mengapa aku mengagumimu
Entah sampai kapan
Aku terus mengagumimu

Aku tidak pernah berharap rasa kagumku terbalaskan olehmu
Aku hanya berharap rasa kagum ini hilang dan musnah
Agar aku tidak terpuruk karenamu
Hanya satu yang aku ingat
Saat kaumemainkan gitar sambil diiringi nyanyianku


Martabak Terfavorit Bogor



Mendengar kata martabak, biasanya jajanan ini identik dengan gerobak di pinggir jalan. Hingga saat ini, jarang ditemui warung martabak yang juga menyediakan pelayanan untuk makan di tempat. Namun, hal itu tidak berlaku untuk martabak yang satu ini; Martabak Air Mancur Bogor.
Namanya sudah cukup lama dikenal. Tempat jajanan ini menyerupai restoran yang sangat nyaman. Dengan begitu, Anda bisa menyantap martabaknya langsung di sini dan tersedia juga menu-menu lain selain martabak.
Sayangnya, untuk mencicipi seporsi martabak di sini, Anda harus rela mengantre. Pemandangan antrean memang membosankan, tapi di sini cukup terorganisir. Jadi, tak perlu takut disela orang karena pelayanannya cukup adil.
Berbicara soal harga, tak perlu khawatir karena disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas rasa dari martabaknya. Terlebih, Martabak Air Mancur pernah mendapatkan penghargaan dari Bogasari dengan kategori Martabak Terfavorit di Kota Bogor.
Ingin martabak manis atau martabak telur?
Tak perlu ragu, karena rasa keduanya juara. Salah satu menu yang paling banyak dipesan dari martabak telur adalah Martabak Telur Super. Sesuai dengan namanya, martabak ini memiliki ukuran yang super besar, tebal, serta irisan daging yang banyak. Tentunya, menu ini cukup mengobati rasa lapar Anda. Harganya berkisar dari Rp 30 ribu sampai Rp 45 ribu.
Untuk martabak manis, menu yang jadi “perbincangan” adalah martabak jagung. Martabak ini unik dan rasanya pas di lidah. Sementara, martabak manis tersedia dalam dua pilihan bentuk boks; boks besar dan boks kecil. Karenanya, Anda bisa menyesuaikan dengan isi kantong Anda.
Boks besar kisaran harganya Rp 35 ribu sampai Rp 47 ribu. Sementara, boks kecil relatif lebih murah, yaitu Rp 17 ribu sampai Rp 27 ribu. Satu lagi, martabak manis di sini ada yang tipis dan kering atau biasa disebut Martabak Tipker. Jangan salah, walaupun tipis, menu ini termasuk idolanya pengunjung.

Martabak Air Mancur berlokasi di Jalan Jend. Sudirman No. 64 dan Jalan Pajajaran No. 2T, Bogor, buka dari pukul 11.00 sampai pukul 21.00 WIB. Jadi, kapan Anda datang ke sini? (ita/diolah dari berbagai sumber)

Kehilangan

Oleh Nurapiska Dwi Ningsih

Berpisah denganmu
Merenggut sebagian bahagiaku
Kamu mengisi hari-hariku dengan cara yang berbeda; membuatku marah!
Mungkin, itu caramu menarik perhatianku

Pertengkaran yang terjadi di antara kita membuatku sadar
Bahwa kamu sangat berarti
Kini, sejak kita berpisah

Hariku tak lagi bercahaya

Sekolah Kereta untuk Totto Chan

Resensi buku Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela




Totto Chan dianggap nakal. Selama pelajaran berlangsung, Totto Chan sering duduk di dekat jendela untuk menunggu pemusik jalanan datang dan meminta mereka bernyanyi. Alhasil, kelas menjadi ramai karenanya. Totto Chan juga pernah duduk di dekat jendela, hanya untuk berbicara dengan sepasang burung walet yang sedang membuat sarang di bawah atap. Lagi-lagi, Totto Chan membuat gaduh saat pelajaran berlangsung.
Gurunya tak tahan lagi dengan ulah Totto Chan. Akhirnya, Totto Chan dikeluarkan dari sekolah, saat usianya baru 7 tahun. Beruntung, masa depan Totto Chan terselamatkan karena ia dipindahkan ke Tomoe Gakuen oleh ibunya. Di sinilah Totto Chan bertemu dengan Sosaku Kobayashi, Kepala Sekolah Tomoe, yang mengajarkannya banyak hal.
Buku ini merupakan memoar dari penulis Jepang ternama, Tetsuko Kuronayagi. Gaya bahasanya yang lugas membuat buku ini bisa dibaca oleh siapa saja, termasuk anak-anak. Menariknya, tidak ada satu bagian pun yang ia rekayasa dalam buku ini, semuanya nyata dari kenangannya di masa kecil.
”Untuk mengenang Sosaku Kobayashi” begitulah yang tertulis di halaman persembahan buku ini. Ia begitu merasa beruntung dapat mengenal sosok Kobayashi di masa kecilnya. Tidak pernah terbayang di benaknya, jika ia tidak bertemu dengan Kobayashi. Ia mungkin akan dicap sebagai “anak nakal” dan tumbuh tanpa rasa percaya diri seumur hidupnya.
Tomoe begitu istimewa. Tidak hanya untuk Totto Chan, tapi juga bagi seluruh murid Tomoe. Kobayashi menerapkan pelajaran yang bebas dan mandiri. Murid-murid bebas memulai hari dengan mempelajari sesuatu yang paling mereka suka. Entah itu dimulai dengan belajar bahasa Jepang, berhitung, mengarang, atau melakukan percobaan fisika. Murid juga bebas berkonsultasi dengan guru kapan saja dia merasa perlu.
 “Sekolah kereta”, begitulah Totto Chan menyebutnya. Sebab, ruang kelas di sini terdiri atas enam gerbong kereta yang sudah tidak lagi terpakai. Ia suka sekolah ini sejak kali pertama ia melihatnya. Tapi ternyata, alasan sebenarnya adalah karena ia bisa bebas menjadi dirinya sendiri di sini; Tomoe Gakuen.
Buku ini membuktikan bahwa tidak ada “anak nakal” di dunia ini. Seperti yang dituliskan Tetsuko dalam buku ini, Kobayashi mengatakan bahwa semua anak terlahir berwatak baik yang dengan mudah bisa rusak karena lingkungan mereka atau karena pengaruh buruk orang dewasa.

Dan, begitulah Kobayashi; berusaha menemukan watak baik setiap anak dan mengembangkannya agar anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa dengan kepribadian yang khas, seperti Totto Chan. (ita)

Film Terbaik

Oleh Mita A. Lestari
  
Aku begitu berhasrat menjadi sutradara. Ada kamera, kru film, naskah atau skenario film, pemeran, dan yang terpenting… ada aku, sang pembuat film.
Aku sutradara?
… sayangnya bukan.
Takdir dan mimpiku tak sejalan. Memang, masih ada naskah dan kru. Bedanya, di sini aku tampil sebagai pemeran utama dan membacakan naskah berita.
Ya, benar… aku seorang jurnalis.
Jika ada yang paling bangga dengan pekerjaan yang tidak aku impikan ini, dia adalah ibuku. Beliau selalu bilang, jadi jurnalis itu bisa menggenggam dunia karena pengetahuannya yang luas, apalagi karena aku wanita, cocok sekali, sedangkan sutradara itu kurang cocok untuk perempuan. Tidak hanya Ibu yang mendukung, kedua adik kembarku juga. Katanya, “Bangga punya kakak jurnalis, muncul di tv, cantik, pinter, rapi…”
Jurnalis memang pekerjaan yang membanggakan. Aku tahu itu. Tapi, apa boleh buat. Aku punya mimpi. Setiap orang pun begitu. Dan impian ini layaknya angin pantai yang selalu ada, terus-menerus.
Pagi ini aku harus berangkat pagi-pagi karena letak rumah dan tempat kerjaku yang tidak dekat. Ibu membuatkan nasi goreng dan teh manis hangat. Melihat wajahku yang tak bersemangat, “Ayo cepat dimakan, nanti terlambat.” Ibu meninggalkanku di dapur dan pergi membangunkan kedua adik lelakiku.
Tanganku masih di bawah meja makan dan mataku menatap sepiring nasi goreng yang aku tahu rasanya sudah pasti enak. Tapi, pagi ini aku enggan melahapnya. Aku tidak ingin bekerja. Aku tidak ingin jadi jurnalis. Buat film, hanya itu yang aku mau.
“Kak,” panggilan Ibu mengacak-ngacak lamunanku. “Masih mikirin mimpimu itu?”
Aku kaget. Sudah lama sekali aku tak menyinggung ini dengan Ibu sejak kepergian Ayah.
Ya, Ayah sudah tiada, padahal beliaulah yang sangat mendukungku jadi sutradara. Karena beliau, aku punya mimpi ini, sutradara. Sejak kecil, ia sering sekali menemaniku menonton acara di televisi.
Selain nonton, ia gemar sekali membaca dan menulis. Sampai suatu hari beliau berkata ketika kami tengah nonton di bioskop, “Kapan-kapan, Ayah ingin deh buat skenario, terus difilmin di layar lebar.” Aku melirik ke arahnya. Ya Tuhan, wajahnya penuh harap.
Lantas aku jawab penuh semangat, “Kalau gitu biar nanti aku yang jadi sutradara, Yah.” Ia terlihat lebih gembira dari sebelumnya. “Bener ya, Kak, kita harus buat film kalau Ayah ada umur. Film paling bagus!”
Aku tertegun, kalau Ayah ada umur
“Udahlah, Kak, jurnalis itu bukan pekerjaan yang tidak seharusnya kamu tolak. Ini rezeki luar biasa. Kamu pintar, dunia harus lihat itu. Bukan bekerja di belakang layar,” ucap Ibu.
Hatiku tak rela. Aku tetap ingin buat film. Tepatnya, buat film terbaik yang diimpikan Ayah.
Aku kuliah jurusan komunikasi. Memang, orang bilang aku cocok jadi jurnalis karena pandai bicara dan sangat suka baca (warisan Ayah). Sampai suatu ketika, teman Ibu menawarkanku bekerja di salah satu tv swasta yang baru berkembang. Karena belum ada pekerjaan, ibuku mendesak untuk menerima. Sampai akhirnya aku mengalah, mengorbankan mimpiku untuk sekolah lagi ke jurusan yang berhubungan dengan film.
Hening… aku, Ibu, dapur.
Ibu menatapku, aku menunduk.
“Setiap hari, kamu buat film, kok. Kamu pun sutradaranya.”
Aku mengangkat kepalaku mencoba mendengarkan Ibu bicara.
“Kamu ini sutradara di hidup kamu, Ibu pun begitu. Kamu mengarahkan hidupmu sendiri sekaligus menjadi pemeran utamanya. Hidup kamu itu film terbaik yang kamu buat.”
Alisku mengerut. Ibu tersenyum.
“Karena… hidup ini adalah tempat pertemuan antara pemeran utama dengan pemeran utama yang lainnya. Film yang hebat, kan, Kak? Dan, ada satu alasan lagi kenapa Ibu sebut ini film terbaik. Tahu nggak, Kak?” Ibu bertanya sambil memegang pundakku.
Aku tak berkedip, jantungku berdegup kencang.
Ibu mengulang pertanyaannya, aku menggeleng.
“Karena, skenarionya Allah yang tuliskan. Ia tahu segala yang terbaik untuk kamu. Termasuk pekerjaanmu saat ini.”
Hening… aku, Ibu, dapur.
Kata-kata Ibu terus terngiang.
Hidup kamu itu adalah film terbaik. Karena, pemeran utama bertemu dengan pemeran utama lainnya.
Dan, ini yang menusuk. Karena skenarionya Allah yang tuliskan.
Yah, dengar nggak?
Ternyata kita sudah buat film terbaik.


Saat Gambar dan Kata Saling Melengkapi

Hari Pertama, 16 Oktober 2013

Bersiap menuju Citorek.
Istirahat makan siang di tengah perjalanan menuju Citorek.
Selamat datang, 16.15 WIB.

Leuit di sekitar sawah.

Bertemu dengan kasepuhan di babalean.

Keakraban di waktu luang.




Hari Kedua, 17 Oktober 2013
Pesiapan menuju ke desa sebelah, Cibedug.


Saat medan belum terlalu berat.

Ah, jalan mulai menanjak!

Cuaca yang mendukung, bukan?

Lelah

Sepenggal Cerita dari Citorek

Oleh Arini Puji Lestari


Pintu masuk Kasepuhan Citorek (Foto: net)

            Hari telah menjelang sore, matahari meredup, dan udara mulai terasa dingin. Saya dan teman-teman  berkumpul di sebuah bangunan bernama babalean, yaitu tempat untuk berkumpul atau menerima tamu, mirip dengan rumah panggung. Seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala batik menyuguhkan beberapa hidangan. Kemudian, masuk lagi beberapa orang yang lebih tua, memakai baju putih dan ikat kepala yang sama. Namun, dengan bentuk ikat yang lebih bervariasi.
            Bukan, saya dan teman-teman tidak sedang berada di Baduy. Sebuah daerah yang juga berada di Banten yang mempunyai kesamaan adat dalam  memakai ikat kepala bagi pria. Akan tetapi, saya dan teman-teman sedang berada di Kasepuhan Citorek.



Pertemuan mahasiswa Sastra Indonesia Unpak dengan Kasepuhan di babalean.
(Foto: dokumentasi pribadi)

            Masing-masing perwakilan, baik dari sesepuh Citorek maupun dari mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Pakuan yang diwakilkan oleh Bapak Dedi Yusar selaku Sekretaris Jurusan, memberikan sambutan serta menyampaikan maksud dan tujuan dari kunjungan kami ke sini. Kemudian, barulah sesi tanya-jawab antara mahasiswa dan sesepuh Citorek dimulai.
            Dari tanya-jawab itu diketahui beberapa hal, antara lain asal-usul Citorek. Versi yang pertama pada zaman dahulu, Citorek merupakan hutan yang tidak berpenghuni. Ada dua orang yang datang ke tempat itu, mereka haus dan hendak mengambil air, tetapi tidak menemukan sungai atau sumber mata air lainnya. Tiba-tiba, bambu yang mereka pakai untuk mengambil air jatuh menggelinding. Akibat bambu itu jatuh, ditemukanlah sungai. Dua orang itu lalu mengatakan, ”Masya Allah, sungai itu tidak ada perciknya.”
Versi yang kedua menceritakan bahwa orang Timur dari Mekah datang untuk membuka lahan. Dia tertarik dan bertujuan syiar agama Islam. Awalnya bernama Citorik dari bahasa Arab  thariq  yang berarti jalan, lalu berubah sesuai dengan pengucapan warga setempat menjadi Citorek. Sesepuh juga mengatakan bahwa dulu warga Citorek  hidup secara nomaden dan merupakan pecahan dari Guradog. Tentang tahun berdiri Citorek tidak dapat dipastikan karena dari beberapa orang yang diwawancarai memberikan jawaban yang berbeda.
Seorang sesepuh mengatakan, beberapa hari sebelum saya dan teman-teman berkunjung diadakan upacara Seren Taun yang merupakan wujud syukur masyarakat Sunda atas berkah yang telah Tuhan berikan atas hasil pertanian. Sayang sekali, saya dan teman- teman tidak bisa menyaksikan upacara itu karena bertepatan dengan Idul Adha.
Azan Maghrib pun terdengar. Saya dan teman-teman mohon diri untuk kembali ke penginapan yang tak jauh dari babalean. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada sesepuh Citorek atas keramahan dan jamuannya.
Citorek dapat ditempuh selama 4–6 jam dari pusat Kota Bogor, tergantung dari keadaan lalu lintas dengan menempuh jalur Bogor-Leuwiliang-Jasinga-Cipanas-Citorek. Sepanjang jalan menuju Citorek akan terlihat pemandangan rimbunnya pepohonan serta barisan pegunungan. Tanjakan dan turunan yang tajam, serta jalanan yang rusak menjadi tantangan bagi Anda yang ingin berkunjung. Jalanan yang diaspal baru 2 kilometer dari Warung Banten. Baju hangat dan obat-obatan merupakan hal penting yang harus dibawa. Sebab, cuaca di sini cukup dingin saat sore dan malam hari. Handphone tidak terlalu berguna karena letak Citorek berada di balik pegunungan sehingga sinyal sulit didapat.

Citorek: Sebuah Jurnal

oleh Mita A. Lestari

Tanggal 16 Oktober 2013 lalu, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia mengunjungi Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek, Banten. Ini perjalanan pertama bagi saya mengunjungi kampung adat. Sebanyak 25 orang ikut dalam kegiatan ini. Kami dibagi ke dalam tiga mobil. Di antara 25 orang tersebut, hanya ada satu dosen yang membimbing kami selama perjalanan; Bapak Dedi Yusar. Ada juga beberapa alumni dari Jurusan Sastra Indonesia yang ikut.

Hari Pertama
Butuh waktu lima jam untuk sampai ke Citorek dari Kota Bogor. Citorek berada tepat di kaki Gunung Halimun. Setelah memasuki Provinsi Banten, tak terhitung berapa kali kami melewati jalan rusak, tikungan tajam, jalan menanjak, juga turunan curam. Ditambah, ada jurang yang menganga di tepi jalan. Sungguh, Citorek jauh dari kehidupan kota. Rombongan mobil kami mengundang tanya bagi warga sekitar. Mungkin, itu karena jarangnya kendaraan roda empat yang memasuki wilayah ini.
Sekitar pukul 16.00 WIB, kami sampai di kampung adat. Memasuki perbatasan kampung ini, kami disuguhkan pemandangan sawah yang luas sejauh mata memandang. Saya melihat seorang bapak yang bertelanjang kaki, baju dan celananya hampir penuh dengan lumpur. ”Bapak itu habis dari sawah,” ucap saya dalam hati. Kemudian, barulah kami dapat melihat beberapa rumah di tengah sawah, juga leuit di sekitarnya.
Selama tiga hari dua malam, kami menginap di kediaman Wahyu, salah satu senior saya, yang tinggal di sini. Turun dari mobil, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling: ikat kain batik di kepala dan rumah panggung. Itulah yang menarik perhatian saya. Warga tersenyum ramah menyambut kedatangan kami. Ketika berjalan selepas turun dari mobil menuju rumah Wahyu, ada beberapa warga yang bertanya, ”Ti mana, Teh?”. Dalam bahasa Indonesia berarti ”Dari mana, Teh?”. Ya, warga Kampung Citorek ini berbahasa Sunda. Malah, mereka belum terbiasa dengan bahasa Indonesia.
Setelah shalat Ashar dan mencicipi beberapa hidangan pembuka dari tuan rumah, kami bertemu kasepuhan di babalean. Babalean merupakan tempat pertemuan warga. Setelah pertemuan dibuka oleh sambutan kedua belah pihak, beberapa mahasiswa kami bertanya mengenai Citorek. Sayang, tak banyak yang bisa kami tanyakan lantaran azan Maghrib mulai terdengar.
Saat pertemuan di babalean, rokok dan asbak menyita perhatian saya. Rokok diberikan satu per satu kepada kasepuhan, termasuk dosen kami. Ternyata, ini suguhan yang biasa di sini. Hampir semua pria dewasa di Citorek merokok dan selalu ada rokok dalam setiap pertemuan.

Hari Kedua
Sebelum alarm handphone berbunyi, saya terbangun sekitar pukul 4.00 pagi. Hanya diam, melamun sejenak, sebab saya masih enggan bergerak. Mungkin itu karena lelah saya belum terbayar. Dalam gelap–yang tak sepenuhnya gelap–samar-samar saya mendengar suara napas teman-teman yang cukup teratur. Ada juga dengkuran pelan tepat di sebelah saya, pertanda ia masih dibelai mimpi. Sesekali terdengar kaki yang beradu, seolah-olah saling menyalahkan.
Alarm teman mengagetkan saya. Satu per satu dari kami pun terbangun dan mengantre untuk mandi. Beberapa di antara kami malah menumpang mandi di rumah warga lain. Alasan kami siap-siap sepagi ini adalah jadwal berkunjung ke desa sebelah, yaitu Cibedug.
”Kira-kira waktu perjalanan itu dua atau tiga jam jalan kaki,” kata Kang Wahyu semalam. Dia juga bilang kalau jalannya menanjak dan berbatu. Ah, sudahlah, yang penting saya tidak berjalan sendirian selama itu. Di awal perjalanan, saya bertanya tentang Citorek kepada Kang Wahyu.

Tanya: Kang, katanya, panen di sini Cuma sekali dalam setahun. Kenapa hanya sekali?
Jawab: Karena sudah amanah dari sesepuh. Pernah dua kali panen, tapi gagal terus. Selain itu, supaya tidak terserang hama. Soalnya, di sini tidak seperti di tempat lain yang setahun itu panennya dua atau tiga kali. Di kampung itu selalu terjangkit hama, kalau di sini nggak pernah terjangkit hama.

Tanya: Ada perayaan khusus nggak?
Jawab: Ada, namanya Seren Taun, seperti syukuran. Kalau di tempat lain ada istilah sedekah bumi, tapi kalau di sini syukuran serah tahun atau pesta rakyat. Ada pertunjukan kesenian. Ada goong gede, arak-arakan. Acara intinya nabeuh goong gede, lebih untuk hiburan rakyat.

Tanya: Jadi, mata pencaharian masyarakat di sini hanya bertani?
Jawab: Iya betul, hampir setiap rumah di sini punya lumbung padi. Jadi, kamu nggak bisa nemuin orang yang jual nasi. Kalaupun ada yang butuh nasi, nasinya nggak dijual, tapi dikasih. Yang dijual hanya lauk-pauknya saja. Oh iya, selain bertani, mereka juga bertambang. Makanya di sini sudah banyak rumah modern, motor, juga mobil.

Tanya: Kalau masalah jabatan atau kepemimpinan di sini bagaimana?
Jawab: Di sini itu sistemnya kasepuhan. Kasepuhan itu seperti kerajaan. Jadi, masa jabatannya itu selama hidupnya. Jika akhirnya dia meninggal, jabatan itu akan turun ke keluarganya.

Tanya: Laki-laki di sini pakai ikat kain batik di kepalanya. Apa maksudnya?
Jawab: Ikat itu sebagai simbol orang Citorek. Mereka terikat secara kekeluargaan dan terikat dari norma-norma yang ada di sekitar. Amanah dari leluhurnya, mengikat batinnya dengan titipan leluhurnya.

Tanya: Kalau bertani dan bertambang sebagai mata pencaharian keluarga, bagaimana dengan pendidikan anak-anaknya?
Jawab: Sejak tahun ’90-an ke sini, kebudayaan mereka sudah mulai terbuka (berubah, red). Sebelumnya, mereka tidak diperbolehkan sekolah tinggi-tinggi. Alasannya, membantu orang tua bertani. Tapi sekarang, anak-anak di sini sudah banyak yang kuliah walaupun jauh dari kota.


Semakin lama, jalan semakin menanjak. Karenanya, pembicaraan kami terhenti dengan sendirinya lantaran napas yang mulai tidak teratur. Seingat saya, kami pergi sekitar pukul 7.30. Belum setengah jalan, perjalanan kami harus terhenti karena salah satu rekan kami pingsan dan memakan waktu lama. Alhasil, kami sampai di Desa Cibedug pukul 11.30.

Sabtu, 16 November 2013

Barang Gaib Itu Bernama Emas

oleh Putri Aulia Wardah dan Nurapiska Dwi Ningsih

Citorek mempunyai pemandangan alam yang mengagumkan. Maklum, letaknya berada tepat di kaki gunung. Ada hal yang menarik perhatian saya ketika pertama kali ke sini; rumah panggung. Ya, rumah yang beratapkan daun kelapa, dinding bilik, beralaskan papan, juga kamar mandi yang masih berupa sumur. Tentunya, bentuk rumah ini sudah tidak bisa kami jumpai di perkotaan.
Bertani adalah mata pencaharian utama masyarakat Citorek. Hampir semua rumah di sana mempunyai lumbung padi. Jadi, jangan heran jika tidak ada yang menjual nasi. Paling, hanya lauk-pauknya saja yang dijual. Namun ternyata, ada juga rumah yang sudah menjelma menjadi rumah modern. Rumah yang beratap genteng, beralaskan keramik. Di dalamnya ada barang-barang elektronik, seperti televisi. Bahkan, motor dan mobil terparkir manis di halaman rumah mereka. Kok bisa, ya?
Ternyata selain bertani, masyarakat Citorek juga menambang emas. Mereka percaya bahwa emas adalah barang gaib, yang bisa datang secara tiba-tiba atas kehendak-Nya. Sssstt, kalau mujur, mereka bisa mendapatkan Rp50 juta dalam sehari!


Gulundung: alat pengolahan batu emas.
Foto:net.


Sederhana dan Hangat

Sederhana dan Hangat
oleh Tria Ayu Lestari dan Vivi Wulandari

Mengunjungi Kampung Adat Kasepuhan Citorek merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Banyak hal baru yang kami temukan di sini, yang tentunya belum pernah kami temui. Salah satu dari sekian banyak yang menarik perhatian adalah ”kehangatan” masyarakatnya.
Kami sangat mengagumi masyarakat di sini. Baru saja kami menginjakkan kaki di sana, mereka menyambut kami dengan senyum paling tulus. Senyum seperti ini jarang ditemui di perkotaan. Masyarakat kota seolah tak peduli satu sama lain. ”Bagimu urusanmu, bagiku urusanku,” begitulah kira-kira.
Tidak begitu dengan Citorek. Bagi mereka, tamu adalah raja. Mereka tersenyum dan menyapa kepada orang asing. ”Akang, Teteh, ti mana?”, ’Akang, Teteh, dari mana?’ tanya beberapa warga kepada kami sambil menyalami tangan kami satu per satu. Ah, mereka begitu hangat.
Masyarakat Citorek pun begitu sederhana. Ini bisa dilihat dari cara mereka berpakaian. Perempuan di sini mengenakan kebaya atau lengan panjang, kain sarung atau rok, dan kerudung. Laki-laki memakai sarung dan baju koko. Namun, laki-laki dewasa di sini mengenakan ikat kain batik di kepalanya. Ini merupakan simbol warga Citorek. Ikat tersebut juga menandakan bahwa mereka terikat satu sama lain oleh adat atau budaya setempat dan agama.